Rabu, 19 Desember 2012

Surat Cinta Untuk Mama

Kendari, 19 Desember 2012
Pukul 23:51 WITA
Kepada Ytc. :

            Mama

oohh,, if i could turn back d time rewind
if i could make it undone i swear that i would
i would make it up to you...
Mom i'm all grown up now
it;s brand new day
i'd like to put a smile on your face everyday..
u are d number one for me...

            Assalamu’alaikum...

         Selamat malam, Ma! Bagaimana kabar Mama hari ini? Kuharap Mama selalu berada dalam keadaan sehat dan di bawah rahmat-Nya. Aamiin...

           Mama sudah tidur, ya? Malam ini dingin ya, Ma?! Tadi sore hujannya deras. Setiap hujan turun aku selalu ingat Mama. Disana aku berdo’a banyak untuk Mama. Do’anya biar aku dan Allah saja yang tahu. Semuanya untuk Mama... :)

          Mama marah, ya pagi ini?! aku memang keterlaluan. Menuoci pintu kamar dan tak keluar seharian. Aku tahu. Mama kesal sekali padaku. Tadi pagi kudengar omelan Mama. Mama menyindirku yang mengunci kamar seraya masih tertidur. Mama menyebut cuci piring, menyapu halaman, menyapu ruang tamu dan membersihkan dapur. Aku mengerti maksud Mama, Mama menyuruhku melakukan itu semua. Mungkin Mama berfikir bahwa aku masih tidur. Aku pun tak mau keluar kamar. Aku sakit hati, Ma! Mama menyindir sih...

            Aku pun pergi ke kampus tanpa pamit.

        Lagi-lagi Mama menyindir tentang kegiatanku hari ini. Pulang kampus tadi Mama sambut aku dengan sindiran. Perih, Ma! Bisakah kita bicarakan ini baik-baik?!


           Tadi mama menanyakanku tentang warna baju yang cocok untuk Mama kenakan. Aku tahu Mama tersenyum saat mengatakan “yang ini bagus tidak?”, namun entah mengapa aku menjawab datar tanpa melirik Mama. Seketika butiran bening menetes perlahan.


           Mungkin karena aku sudah cukup besar untuk memaham kehidupan. Seharusnya aku yang memulai tanpa harus disuruh.

            Aku yang salah, Ma! Maafkan aku!

          Ingin rasanya memeluk Mama, mengatakan “maafkan aku, aku cinta mama”, namun entah mengapa sulit untuk melakukannya. Terlalu kaku menurutku. Mungkin karena terbiasa diam dan menyemburkan hawa sepi-tegang dalam rumah. Ingin mencairkannya, hanya saja aku bingung. Batinku berteriak lemah.

            Dari dulu aku selalu berjanji akan membahagiakan Mama, namun hingga saat ini aku belum pernah melakukannya. Niat teguhku kuat, Ma. Namun tak pernah ku realisasikan.

        Aku ini keras kepala ya, Ma?! Sudah sering dinasehati tapi sering juga kuulangi kesalahan itu. Aku selalu marah dan kesal bila Mama mendikte-ku seolah-olah aku anak kecil. Aku egois ya, Ma?! Membiarkan Mama membabat habis pekerjaan rumah sedangkan aku berkeliaran di luar rumah. Jarang bantu Mama sedangkan Mama selalu membantuku.

            Aku ingat waktu aku terbaring lemah. Sakit. Semuanya Mama yang kerjakan. Mulai dari pekerjaan rumah hingga mencucikan pakaianku. Aku pernah dengar Mama berdo’a, saat aku pura-pura tertidur. Mama bilang, biarkan Mama saja yang sakit, tapi jangan anaknya Mama.

             Aku tercekat.

          Ada butiran bening membanjir di pipi Mama. Aku mendengar do’a Mama untukku. Aku mendengarnya...

           Aku yakin, Mama disayang oleh Allah. Mama selalu bangun di tengah malam. Aku tahu Mama selalu menangis ketika berdo’a. Tenang, Ma! Ribuan malaikat ikut meng-amin-i do’a Mama. Dinding langit bergetar. Lantunan ayat yang Mama bacakan menjadi nyanyian indah di surga sana.

            Cinta Mama begitu tulus. Sempurna sekali Allah menciptakan hati Mama.

           Sekarang sudah pukul 00:13, hari ini hari lahir Mama. Berapa umur Mama? Lima puluh dua. Aku ingat. Mama sudah tua, ya?! Kejam sekali aku jika meninggalkan Mama dengan beban. Tenang, Ma! Aku akan selalu di sisi Mama. Apa yang Mama butuhkan, katakan padaku! Aku di sini, Ma. Bersama Mama...

            Surat ini ku simpan di atas sajadah Mama, aku yakin dua jam lagi Mama bangun. Peluk aku jika Mama sudah membacanya... ya, Ma?!

            Esok matahari terbit, akan kutunjukkan pada Mama, hangatnya mentari memeluk batin Mama. Akan ku ukir senyuman di langit. Mengajak Mama menari di atas awan, merakit angin dan bermain bersama hujan. Akan ku abadikan senyum Mama hingga nafas ini terhenti. Aku berjanji tak kan mengecewakan Mama lagi.

            Aku cinta Mama.
            Selamanya.
Wassalam, kendari 20 Desember 2012 Pukul 00:27 WITA
Shabria Akib,
anak manis Mama yang masih belajar tentang arti tulus dalam cinta.

Rabu, 28 November 2012

Calmness. Mengenang 'Langit Biru'


Terlalu banyak kenangan yang tak boleh dilupakan... memori yang harus disimpan dan kebersamaan yang dilekatkan erat pada ingatan... Bersama mereka yang tak ternilai kehangatannya..

Hidup bersama mereka seakan memakan buah mangga... Manis.. Terkadang asam... Namun menyenangkan... Tak berhenti mengunyah meski tubuh tak kuasa menahan... Begitulah mereka... TAK TERLUPAKAN...

Ketika kita bertemu dalam dunia cinta dan kasing sayang, kita akan berusaha untuk saling mengenal. Menanyakan asal-usul keluarga. Bercerita tentang kehidupan. Bercanda akan keterbukaan. Menangis untuk duka yang terjadi. Setelah detik itu kita ternobatkan SUDAH SALING KENAL.

Tak mudah memahami seseorang seutuhnya ia berprilaku. Hanya mereka... orang-orang yang hebat, yang mampu memperlakukan saudaranya dengan keterbatasan kepribadiannya. Menjaga hatinya agar tak ada yang terluka. Memperhalus bahasa jika terdengar kasar. Berbagi segala hal yang terasa hangat. Menolongnya ketika mimik ‘mohon perhatian’ ia tampakkan. Tak ada yang sebaik mereka. Dan saai itu kita AMAT SANGAT AKRAB.

Tak ada yang mengalahkan kebersamaan kita. Tak terkalahkan karena tak ada yang mampu menyandang sebutan ‘rival’ untuk kita. Kita tertawa. Bangga. Melambung jauh hingga mata tertutup fakta. Entah mengapa, tak ada dari kita yang merasa berkuasa. Mungkin karena kita terlahir taat. Kita terbiasa menghormati. Terbiasa memberi kesempatan kepada ia yang memiliki imajinasi baik akan kekuasaan. Dan disinilah kita MENJADI SATU.

Kini semuanya tinggal cerita... Cerita baik, buruk, lucu, sedih teraduk satu dalam gelas kisah kita... Andai waktu bisa kurangkai kembali... Ingin rasanya membenahi beberapa momen yang terdengar pahit...

Pertengkaran... Keegoisan... Tumpah-ruah tangis... Teriakan bentak dan gertak... Saling menyalahkan... Sudah menjadi hal wajar dalam lingkarang persahabatan. Mungkin mereka tak ingin menamakannya persahabatan... Namun PERSAUDARAAN...

Tinggal cerita... aku mengenal mereka dengan kebiasaan mereka... aku menyayangi mereka karena kebiasaan mereka. Aku merindukan mereka karena kebiasaan mereka.

Dan sekarang aku menatap BIRUnya langit. Mengenang mereka dalam DAMAInya pergerakan awan. Meski kita terpisah, tersebar bebas bak dedaunan yang gugur, namun wajah ‘unik’ mereka akan mengakar kuat pada tanah ingatan ini...

Karena mereka, bagian dari hidupku...
Love u,,, Qendz Belleza n My Pattern Gen...^^

Minggu, 27 Mei 2012

I Love Me! Kesan Menjadi Diri Sendiri



Saya.
Ini saya. Bukan siapa-siapa. Jadi terima saya apa adanya.
Hoho... Mungkin gak segitunya. Entahlah. Akhir-akhir ini saya bingung dengan semua yang terjadi. Wow... ada yang salah?
“You were born to be real, not to be perfect. You’re here to be YOU, not to be what someone else wants you to be”
Saya terinspirasi dari statusnya Yuna di Faceebook. Kalo saya nge-share status tentang begituan, entar disangka ngikut! Oh no!! Gak mau-lah!! Masa ngikut-ngikut ‘dia’??!! hoho... Piss Yun... 
Menjadi diri sendiri. Diri yang mana? Terkadang saya heran dengan mereka yang selalu ‘nyuruh’ untuk menjadi diri sendiri. Apa mereka sedang merasa tidak menjadi dirinya? Well, termasuk saya!
Ini percakapan saya dengan seorang teman yang sedikit menginspirasi...
 “Ya, ente masih marah, ya?”
Saya bingung, “Apaan?”
“Itu loh... yang kemaren. Soalnya sekarang ente berubah.”
“Nggak tuh... biasa aja!”
“Beneran??”
“Trus ana harus gimana?”
“Ya... seperti biasa. Ente yang dulu! Be yourself, Ya!”
“Oh...”
Sebenarnya saya keberatan. Saya yang dulu perasaan sama ajah dengan yang sekarang. Bahkan saya yang sekarang inilah saya yang sebenarnya. Memang sih, awal kita saling kenal, saya gak se-fulgar ini. Awalnya saya terkesan kurang ramah dan bisa disebut dingin. Istilah kita-kita, co-ol! Hehe... itupun karena suatu alasan. Dan mungkin dia baru tahu kalo sebenarnya... saya seperti ini. Hoho...
ṧṧṧ
            Ini bukan scene of curhat. Saya hanya ingin berbagi tentang indahnya menjadi diri sendiri. Karena ini hal yang penting. Banyak sekali orang yang frustasi hanya karena mereka ‘ikut-ikutan’ gaya orang lain baik secara internal maupun eksternal. Ringkasnya, ayo dengungkan, I Love Me!
            Saat saya dipenuhi masalah –istilah sekarang sih, galau! Saya ingin sekali menjadi seorang Melisa. Yang cuek dengan segala hal. Tak pernah peduli apa kata orang yang membuatnya sakit. Jika ada yang membicarakan kejelekannya, ia tersenyum cuek. Seakan itu tak penting baginya.
       Saat saya dikelilingi asap marah. Ingin sekali rasanya menjadi sesosok Nadin. Yang selalu mempositifkan segala hal. Meski ia disakiti, ia menganggap itu pelajaran untuknya. Ia tak ingin ada yang tahu bahwa ia sedang marah. Ia selalu menjaga perasaan temannya.
            Saat saya diliputi kabut sedih. Saya berharap bersifat tegar seperti Yuna. Apapun yang ia hadapi, seakan ringan baginya. Sesulit apapun itu. Ia hanya menangis di belakang semua orang. Sesedih apapun masalah yang merajam, ia tak menampakkannya. Ia menutupinya dengan tawa. Tak ada yang tahu bahwa hati itu sakit. Jiwa itu meringis. Perih. Ia selalu menyelimutinya dengan sempurna.
          Namun inilah saya. Saya ya saya. Saya harus menerima segala kekurangan saya. Meski saya harus memperbaiki segala sifat yang menurut saya buruk. Tak perlu sampai mengubah diri hingga batin tersiksa. Saya terkesan dengan kalimat ‘seseorang’ yang saya anggap lebih dari senior saya yang lain.
            “Ya... jangan berubah, ya!”
            “Loh?? Memangnya ana kayak gitu, ya??”
            “Be yourself! Itu yang terbaik!”
            Saya meleleh.
          Well... bukan someone special! Hanya saja ia seseorang yang saya segani sebagai senior. Dan saya senang dengan kalimat seruan itu. Itu tandanya, saya terkesan menyenangkan dengan karakter yang seperti ini.
Padahal saya sendiri bingung. Menurut saya, saya ini kurang! Kurang jika dibandingkan teman-teman saya yang lain. Kurang baik, kurang tegas, kurang sopan, kurang pintar, kurang percaya diri, kurang ramah, kurang lembut, yang pokok serba kurang. Saya merasakan hal itu.
Sekali lagi, ini bukan curhat! Hanya sekedar memberitahu bahwa menjadi diri sendiri itu, menyenangkan!
Well... Ada satu hal lagi yang membuat saya terdiam dan yakin mengatakan “I Love Me!”
            Malam itu, saya menelpon Yuna. Banyak hal yang kami ceritakan. Mulai dari tugas kuliah sampe masalah-masalah pribadi. Di sela-sela pembicaraan saya nyeletuk...
        “Eh, Yun! Tadi ana ketemu Kak Fandi, ngobrol banyak. Dia ngomong, kalo dia itu apa adanya! Haha... ana sambungin aja ‘Kak cover itu memang gak nentuin isi, tapi menggambarkannya!’ lagian Kak Fandi cerita kalo dia gak bisa dipandang dari luarnya... haha.. ada-ada ajah!”
            “Nah... itu dia, Ya! Kak Fandi tu sering ngetawain ente!”
            “Mang napa??!! I don’t care!”
            “Haha... Nggak papa kok, Ya! Itu baik! Be yourself!
         Sedikit tersinggung. Namun saya tahu, Yuna menilai siapa saya. Dan itu tandanya Yuna merasa nyaman melihat saya dengan karakter yang seperti ini. Saya pun yakin, teman-teman yang lain merasa demikian. Akui sajalah teman-teman?? Hoho...
         Awal tahun perkuliahan, saya akui saja, saya sedikit terkekang dengan sifat saya yang harus banyak diam dan bicara seperlunya. Saya tidak terbuka dengan lingkungan sekitar. Istilah co-ol mungkin bisa dipakai. Tapi saya benar-benar merasa tersiksa. Ingin rasanya tertawa lepas dan bercerita banyak hal. Well... itu nggak mungkin! Saya tidak sekelas dengan teman-teman yang membuat saya nyaman berkisah banyak hal. Untuk itu saya lebih banyak diam dan terkesan jutek. Co-ol gitu deh...
          Namun terkadang enak juga dicap seperti itu. Hehe...
         Dan kini saya percaya. Menjadi diri sendiri itu sangat menyenangkan. Sisi baik yang kita simpan dan yang buruknya dibuang atau diperbaiki.
Biarkan saja dengan teman yang baru mengenalmu, membenci karaktermu. Atau bahkan menertawakanmu. Mungkin menurutnya itu aneh. Tapi yakinlah! Suatu saat ia akan menyadari suatu kesalahan bahwa ia telah membencimu atau telah tertawa atas kelakuanmu. Dan dia akan berteman denganmu dengan cara yang berbeda.
Untukmu yang berkarakter keras... tak selamanya yang bertingkah lemah lembut itu menyenangkan. Semuanya tak tentu. Akan terasa nyaman jika kamu bisa menguasai karaktermu. Yang menyenangkan adalah berteman denganmu dan kamu menghargai pertemanan itu. Berpikiran jernihlah yang akan mengubah suasana.
Untukmu yang pendiam... dengarkan! Menurut saya, itu bukan kesalahan. Tidak salah memiliki karakter yang pendiam dan cenderung tertutup. Kamu punya alasan untuk itu. Dan tidak selamanya orang supel dan pintar bergaul itu baik. Semuanya punya sisi baik dan buruk yang berbeda. Tergantung yang menjalaninya.
ṧṧṧ
            Terkadang kita harus menjaga image untuk mendapatkan persentase baik dari lawan interaksi kita. Namun itu tak membuat hati kita tenang. Kita akan terus terdoktrin dengan harus selalu tampil prima meski jiwa berkata lain. Memalingkan muka, tanda tak setuju!
            Terlihat biasa saja lebih baik dari pada terlihat lebih. Karena mereka akan kecewa dengan kau yang terlihat lebih... dan ternyata kau seseorang yang biasa saja. Namun mereka akan kagum dengan kau yang terlihat biasa saja... dan ternyata kau seseorang yang lebih.
            Untuk itu, be yourself!
ṧṧṧ

Jumat, 09 Maret 2012

Diam, Tak Selalu Menjadi Emas!


            Saya akui, saya tergolong orang yang suka bercerita. Kasarnya sih banyak bicara. Bermanfaat atau tidak, itu tergantung yang menjalani.
            Kalo saya mengidentifikasikan sendiri, saya lebih condong ke ekspresif. Saya juga bingung. Orang-orang bilang “Aya itu kalo ngomong semuanya bergerak! Nggak mulutnya, tangannya sampe ke badan-badannya!” ihhh... mendramatisir! Nggak segitunya kali! Masa iya saya ngomong sambil nari-nari? Nggak mungkin ah!
            Suatu hari Ami berpetuah.
            “Eh, Ya! Kayaknya, kalo ente diem ayem aja, ente keliatan lebih manis!”
            Jegerrr! Ini namanya penghinaan!
            “Masa?”
            “Menurut ana, semakin seseorang diam, semakin terpancar pula pesona yang...”
            “Alahhh... pendapat ente nggak rasionil!” potong saya terpaksa.
            Sebenarnya saya separuh setuju, separuh tidak. Nggak selamanya pesona seseorang itu terlihat ketika ia memilih diam di tempat kerumunnya obrolan. Mungkin benar ‘diam itu emas’, benar di tempatnya. Namun jika tidak pada tempatnya?
            Siang, selepas mata kuliah Makro Ekonomi.
            “Inget nggak pas tadi Bu Dosen baca absen, si Alif nyeletuk...”
            “Oh... yang itu! Iya bener! Nggak sopan! Kan bisa saja Bu Dosen tersinggung?!” saya mengikuti alur cerita yang dibawa Erika.
            “Mestinya Alif nggak bersuara keras. Kan kita kena juga kalo tu Ibu marah!”
Nadin menghentikan langkahnya, “Yang mana sih?”
            “Ente nggak denger, ya? Pas Bu Dosen ngabsen, kelas kan agak sepi dan agak ribut juga...” saya sedikit bingung dengan kata-kata saya barusan, “... engg... gini, si Alif nggak bermaksud ngomong apa-apa yang menyindir dosen. Kayaknya dia lagi ngomong sama sampingnya”
            “Ngomong apa?”
            “Dia keceplosan, ‘ihh... kelamaan! Ini udah jam berapa?’ nah... mendadak Bu Dosen terhenti dari baca absen, langsung melirik Alif. Marah-marah gitu deh, kayaknya beliau tersinggung...” saya mulai cemas.
            “Kita aja yang denger kaget. Kirain Alif serius ngomong gitu ke dosen. Padahal dia ngomong ke teman di sebelahnya” Erika menambahkan.
            “Trus?”
            “Bu Dosen jadi ngambek!” ketus Yuna dengan sedikit nada kecewa. “Tugas numpuk lagi! Ahhhhh...”
            “Pantesan kita dapet tugas tambahan!” Nadin mulai menyadarinya.
            Kami semua langsung mengambil posisi di halaman samping yang cukup teduh. Ada trotoar panjang yang biasanya diduduki mahasiswa yang menunggu angkutan umun lewat. Karena belum mau pulang, kami berhenti dan duduk santai di trotoar itu. Sambil mengecek keberadaan motor masing-masing.
            “Jadi gimana nih?” saya mulai risih.
            “Gimana, gimana maksud ente?”
            “Ya seenggaknya kita minta maaf sama Bu Dosen. Kalo dia nggak ridho ngajar kita gimana?” saya melirik Yuna. Sedetik kemudian ia paham. Saya juga memperhatikan teman-teman yang lain. Ami, Melisa, Deyana, Nadin dan Erika. Mereka membahas hal yang serupa, ‘Tragedi Kelas Makro, Alif’.
            Saya kembali merenungi hal yang baru saja terjadi. Lebay sih kedengarannnya. Tapi bagaimana lagi? Dalam hal ini, ridho Allah ada pada ridho dosen. Proses belajar-mengajar akan berkah jika mahasiswa dan dosen sama-sama ridho. Wah... kayak transaksi jual-beli ya? Hoho... namun begitulah kenyataannya. Iya kan?
            “Alif nggak salah! Dia kan nggak bermaksud ngeremehin dosen?” sela Nadin.
            “Iya, Na! Tapi Bu Dosen kan nggak tahu kalo sebenarnya Alif nggak ngomong sama dosen” Erika kembali berkomentar.
            Saya terdiam. Berusaha memikirkan cara untuk membicarakan hal ini sama Bu Dosen. Mencari waktu yang tepat dan kata-kata yang halus. Yuna membantu saya merancang itu semua.
            Saya kembali memperhatikan teman-teman lainnya. Nadin berkomentar ria dengan Erika. Ami mendengarkan usulan Deyana yang sedang diutarakannya. Sedangkan Melisa...
            Saya menatap Melisa tajam. Dan mulai risih pula dengan kelakuan Melisa yang akhir-akhir ini sering diam. Ia selalu menjauh dari pembicaraan kami. Jarang sekali mau ikut nimbrung atau sesekali memberi komentar atas pembicaraan kami. Bukan hanya saat ini saja. sudah sering ia melakukan hal ini dan membuat kami menaruh rasa curiga padanya. Apa Melisa bosan berteman dengan kami? Apa ia malu memiliki teman seperti kami?
            Hal itu yang pertama kali muncul di benak saya.
            Sengaja saya tidak menceritakan hal ini pada mereka tanpa sepengetahuan Melisa. Sama saja saya membicarakan Melisa dari belakang. Meski niat saya baik, tapi saya ingin Melisa hadir ketika saya berbicara tentang dia. Ya. Saya akan membahas hal ini tepat di depan Melisa. Tapi tidak sekarang.
            “Eh.. ana ke depan kampus dulu, ya! Flashdisk ana ketinggalan di warnet kemarin” Melisa mengeluarkan kunci motornya. Ia beranjak meninggalkan kami, mendekati Scoopy pink-nya yang tak jauh dari tempat kami.
            “Mel! Ente kenapa sih?” tegur Yuna terang-terangan. Pertanyaan Yuna cukup untuk menghentikan langkah kaki Melisa yang terasa ganjil.
            “Ente berubah, Mel!” sambung Nadin pelan. Namun tegas.
            Saya tersentak. Sepertinya bukan cuma saya yang merasakan kejanggalan Melisa akhir-akhir ini. Diluar dugaan saya, Yuna dan Nadin memperhatikan pula kelakuan Melisa.
            Melisa masih berdiri mematung. Sepertinya ia mengerti alur pembicaraan ini.
            “Ana mau ente jujur, Mel!” ungkap saya tak kalah fulgar. Sama sekali tak ada maksud menghakimi kelakuannya. Setiap orang berhak melakukan apa saja selama tidak merugikan orang lain.
            Melisa tersenyum. Pahit sekali. Terpaksa! Tepatnya begitu.
            Kini kami mengerti. Arti diamnya Melisa akhir-akhir ini.
            “Ente pikir, kita nggak takut sama dosa?” saya mulai tersinggung.
            “Mel! Kita ngomongin orang, bukan berarti kita ghibah-in dia! Kita ngerti sama definisi ghibah, untuk itu kita hindari!” bela Nadin dengan nada yang ditekan halus.
            “Sebaik-baik keislaman seseorang itu, adalah meninggalkan apa yang tak berguna baginya! Kami sama sekali tak berniat ghibah! Gosip atau apalah itu!”
            Yuna menatap Melisa lekat, “Kita semua ingin keselamatan kan? Ingin bahagia kan? Untuk itu kita adakan perubahan” ia tersenyum yakin.
            “Semua yang kita bicarakan baik mengenai orang ataupun tidak, kita niatkan untuk pembelajaran dan pengajaran. Kita ingin yang terbaik uuntuk kemaslahatan bersama. Ada hikmah dibalik semua itu. Tergantung niat masing-masing” tambah saya pelan. Tenang.
            “Maaf, ya! Ana hanya ingin menghindar dari...”
            “Kita ngerti kok, Mel! Siapa sih yang mau terima dosa?” canda Erika hangat.
            Nadin menepuk pundak Melisa, “Seharusnya ente ngomong ke kita, kalo ente nggak suka dengan sikap kita yang suka membicarakan banyak hal. Istilahnya nggak bisa diam. Kita kan jadi su-udzon sama ente. Kita kira ente malu berteman sama kita atau apa gitu... eh, tiba-tiba ente menjauh. Nggak nimbrung ama kita. Kita kan jadi heran, Mel!”
            “Kita bisa terima dengan argumen ente yang memprioritaskan diam sebagai emas. Tapi nggak selamanya seperti itu, Mel! Kadang kita harus melihat situasi untuk meletakkan emas itu. Dibarengi dengan niat yang positif!” senyum saya melebar.
            Melisa menatap kami kaku. Ada rasa bersalah dan wajah mempertahankan argumen. Untuk masalah prinsip, kami hargai itu!
            Kami saling tersenyum, mempositifkan segala hal agar terasa hangat.
ṧṧṧ
            Kesalahpahaman mudah sekali terjadi. Selama ada pihak yang menutupi perasaannya, pihak yang lain akan menyalahkannya. Serupa dengan saling memahami. Satu pihak sudah mencoba untuk memahami, namun pihak yang lain bertolak belakang. Ya, percuma saja!
            Terkumpulnya sekelompok orang berkemungkinan besar untuk membahas tentang orang lain. Pembahasan yang lebih familiar disebut ‘gosip’ atau ‘ghibah’. Sudah pasti itu merupakan part of dosa. Sebenarnya tergantung yang menjalani. Atas dasar apa ia berbicara. Hanya ALLAH yang tahu niat seseorang. Dosa tidaknya, DIA yang menentukan.
Ketika sekelompok itu berniat baik dalam pembicaraannya mengenai orang lain. Sangat salah jika seseorang terdiam seakan tak setuju. Dan diam itu tak kan menyelesaikan masalah.
Karena diam, tak selamanya menjadi emas.
ṧṧṧ

 Sengaja direkayasa, untuk mengingatkan seorang teman atas diam dan kesalahpahaman.

Senin, 27 Februari 2012

Mengingat Masa Lalu (Bersyukur)


Kata lainnya sih, mengingat masa muda! Alah.. sok tua! Bukannya begitu, sekarang kan kami sudah duduk di universitas. Dulu kami sering ngimpi-ngimpi, gimana ya rasanya kuliah?
            Well! Saya kembali teringat tentang hal konyol yang saya dan beberapa teman saya lakukan. Yang aneh bukan pada kami. Tapi pembicaraan kami memang sedikit menyeleweng kala itu. Saya masuk ke poin inti saja.
            Saat itu saya dan beberapa teman memperhatikan ‘murid-murid sekolah’ kami yang sedang istirahat. Tepat pukul 08.30, istirahat pertama dimulai.
            “Ussi itu cantik ya?! Manis!” komentar Erika tiba-tiba.
            Serentak kami semua melirik ke arah tersangka. Ussi sedang merapikan buku-bukunya. Walau ia diam-diam saja, namun seakan ia tersenyum. Manis bukan?
            “Iya. Manis!” ucap saya sambil meng-kode Erika. “Kalo kata orang Sunda, Ussi itu cameuh. Rahang dagunya mengarah kedepan. Jadi kalo nyengir, barisan gigi bawah lebih maju dari barisan gigi depan” saya mempraktekkan sambil mengira-ngira.
            “Bener, Ya! Ente keliatan manis!” ledek Yuna.
            “Masa?” senyumku tersipu malu. Yuna ngejek nih! “Coba ente, Yun!”
            Yuna menegakkan badannya. Posisi wajah ia atur setegap mungkin. Ia pun mulai melakukan hal serupa. Men-cameuh-cameuh-kan diri. Hehe..
            “Hahayy.. manis kok, Yun! Kayak Ussi!” tawa saya lepas.
            Serentak akhwats menirukan gaya konyol saya dan Yuna. “Ana keliatan manis nggak?”
            Gubrakk! Apa-apaan sih antunna?
ṧṧṧ
            Sebenarnya kami menirukan gaya Ussi bukan untuk terlihat manis. Manis itu kan relatif. Hoho.. menghibur diri!
            Kebiasaan ini menjadi bumerang untuk menembak tawa. Tawa kami akan membanjir begitu saja ketika menirukan gaya Ussi. Sampe terkadang Ussi kesal dan memalingkan wajahnya. Tidak. Ia tidak marah. Ia malu! Hoho..
            Kami sih bersyukur dengan tampang yang seperti ini. Untuk apa dibuat-buat agar terlihat manis? Apalagi kalo mengatur raut wajah setiap waktu, seakan kamera ada dimana-mana. Allah itu Maha Adil. Mau bukti?
            Semanis-manisnya Ussi, ada juga yang menetralisir kemanisannya. Hehe.. ngerti nggak? Saya ceritakan saja.
            Saat itu bel tanda istirahat kedua berbunyi. Kompak sekelas bernapas lega. Suntuk juga belajar terus. Untuk itu istirahat dirancang dua kali.
            “Tadi PR-nya halaman berapa?” tanya Ussi sambil memasukkan buku tulisnya.
            “Yang logaritma bukan sih?” Yuna malah tanya balik.
            Saya menimpali. “Judul yang terakhir itu kan?”
            “Kalo nggak salah latihan 7” sang jenius Erika menjawab semua pertanyaan kami yang mengambang.
            “Yang mana sih?” wajah bingung Ussi membuat kami menatap heran.
            Akhirnya Nadin angkat suara. “Yang itu loh, Si! Barusan Ustadzah Farhanah jelasin. Perasaan cuma satu judul deh hari ini”
            Ussi masih saja berpikir. “Enggg”
            “Masih belum nyambung ya, Si?”
            “Bukan gitu! Kok ana bingung ya?”
            “Inget-inget lagi deh, Si! Ustadzah Farhanah kan baru aja keluar kelas”
            “Nih! Halaman 55. Logaritma. Latihan 7” Yuna langsung mengambil tindakan. Bukti yang ia tunjukkan cukup untuk merubah raut wajah Ussi yang dari tadi terlihat bingung.
            Seketika raut bingung itu berubah “Antunna ngebahas pelajaran Matematika ya? Maksud ana tuh pelajaran Fisika!”
            “WHAT? BILANG DONG DARI TADI!”sembur sekelas sambil mijit jari-jari.
            Setiap manusia memiliki kekurangan dan juga kelebihan. Ussi memang agak kurang connect. Lama baru bisa nyambung. Sampe ni mulut berbusa baru ia ngerti alur pembicaraan. Sampe-sampe kami sering ngomong “Allah memang Maha Adil!” hehe..
            Tapi nggak segitu juga. Ussi malah sangat asyik diajak ngobrol. Sebenarnya sih nyambung-nyambung aja, tapi karena di antara kami semua, Ussi-lah yang paling sering begitu. Walau kami juga sering nggak connect.
            Eits! Tunggu dulu. Gini-gini Ussi hebat lho! Inilah letak keadilan Allah! Ussi itu jago Puisi! Dia sering memerani puisi kolosal yang diadakan pondok. Bahkan Ussi pernah menjadi perwakilan Sulawesi Tenggara membaca puisi di Kalimantan dalam sebuah acara Nasional. Saya lupa namanya apa.
            Kita memang harus banyak bersyukur. Bahkan ada lagi kejadian tragis bertemakan syukur. Ini yang teman saya lakukan.
            “Ana kesel sama bintil item di hidung ana!” keluh Dijiran.
            Kami menoleh ke arahnya. Seketika kami menahan tawa. Emang lucu sih. Tahi lalat segede biji pepaya terbaring nyenyak di ujung hidungnya.
            “Bagus kalee. Itu namanya khas!” puji saya membela.
            “Ana risih nih, Ya! Jadi pengen dioperasi! Planing ana sih bulan depan”
            “Jangan, Dij! Itu nikmat yang Allah kasih ke ente. Selama nggak merusak organ lainnya, itu jangan dibuang! Ente nggak tahu kan kalo tu tahi lalat ada manfaatnya?” kalimat bijak Nadin sedikit memperbaiki jiwa Dijiran yang rapuh.
            “Tapi ini mengganggu, Na! Ana jadi gimana gitu!”
            “Udah! Syukuri ajah! Segala hal yang Allah ciptakan pasti ada manfaatnya! Ngapain juga diciptain tapi nggak bermanfaat?” logika saya bermain.
            Dijiran tersenyum kaku. Mungkin untuk menetralisir hatinya.
ṧṧṧ
            “WOI! Ada kabar panas! Idung Dijiran mulus!”
            Sebenarnya sih saya tertawa geli dengan kabar ini. Entah siapa yang berteriak tadi, suaranya menggelegar sampai seisi kelas penasaran. Saya memang berbeda kelas dengan Dijiran. Jadi respon ‘pengen liat’-nya semakin menggebu-gebu. Hoho..
            “Eh.. serius nggak sih kalo Dijiran itu..”
            “Bener, Ya! Ente nggak ngeliat sih! Ana tu sekamar sama dia. Seakan bulan jatuh! Cling! Tadi pagi sekamar langsung kaget dengan perubahan yang terjadi! Hahayy.. lebay ya?” Erika bersemangat menceritakan gemintang pagi ke saya.
            “Tadi pagi? Berarti dia operasi ke dokternya tadi malam dong?”
            “Nggak, Ya! Dijiran nggak ke dokter. Ia lah yang berperan bak dokter tadi malam”
            “Apa? Dia yang motong sendiri?”
            “Hebat kan? Pake silet! Haha..”
            Saya tersenyum pahit. Serem banget sih tu tragedi!
ṧṧṧ
            Sepekan sudah saya tidak bertemu Dijiran. Operasi yang ia lakukan sendirian itu memang bukti kebulatan tekadnya. Mungki ia sudah tak tahan. Tapi kan sebaiknya hal itu jangan dilakukan.
            “Assalamu’alaikum, Ya!”
            Saya merasa seseorang menyalami saya. Setelah menjawab salamnya, saya berbalik. “Dijiran? Loh hidung ente kok?” saya benar-benar tak menyangka. “Bukannya udah ente silet? Kemaren kan hil..”
            “Kayaknya ente dan Nadin bener. Ana seharusnya bersyukur punya sesuatu dari Allah yang tidak dimiliki orang lain” ia menelan ludahnya. “Tahi lalatnya balik lagi deh!”
            Jegeerrrr!
            Saya hanya bisa tersenyum membenarkan.
ṧṧṧ
            Insiden yang sedikit direkayasa ini saya tulis sama sekali tidak ada maksud apa-apa kecuali untuk mengingatkan kita kembali bahwa kita memang harus bersyukur dengan apa yang sudah Allah beri. Khususnya untuk diri kita masing-masing.
            Allah itu adil! Segala hal di muka bumi ini memiliki manfaat. Makanya kita harus mensyukuri apapun yang sudah Dia ciptakan. Setuju?
ṧṧṧ

Jumat, 24 Februari 2012

God Knows


            The splattering water shoots me. I feel it. It’s the softly drop near me. But I wipe it accidently. I can see the evil done turns to left and right. I will deny it! Even it’s so interested for me. I suppose to go no back… when someone treats me like the splattering water does.
Life. I’ll be end in my stormy department. It’s clumsy, reckless. I stuck all the overruled objections. I bleed. I shriek for thousands second. Heightening the hands and clapping no end. I lay on the giant stone… twisting my part of soul to be mixed with the air… I’ll die!  
Feeling speeded. I realize my aim. It’s too hard to reach. I realize my deficiencies. I understand my state. I stand on the gloomy ground. I can’t imagine my part of my life tale, if I stay at the glittering work way… it’s not easy to spend!
            If I chase the star, I’ll be shocker at once. Pending the root thought for the jumping illusions. God knows that! God knows the destiny destination that I’ll spend. Coz I hold the sturdy aspiration.
            Bounced to the air, I feel I’m flying with no wing. I shrug for a second and stay back to The Lord. The Lord? Don’t give me any strange! Something? No! He is the Lord of everything. I’ll be back soon.
            God doesn’t give what we hope, but He gives what we need. Believe that He always grant all His creatures. No one left! The spread sights never end. He is The Almighty of the universe. Who will deny these words?
            The prayers heard. Prayer admonish promulgated. We just calm our heart and pray. Because actually… He doesn’t need our pray, our praises, our sighs…
            He just wants to hear our effort to get the good destiny. Because the destination has been destined! 

Sabtu, 18 Februari 2012

Peran Seorang Teman


Yuna menarik lengan saya, “Liat ini, Ya! Cocok untuk ente!”
Saya menoleh ke arah layar netbook-nya. Yuna masih mengetik beberapa kata lalu menekan tombol enter. Saya melihat judul yang sudah sangat familiar sekali di telinga saya.
“Ente tuh udah masuk 50 besar! Dan kalo memang yang diterima hanya 25, ente nggak pantes untuk sedih!” kalimat itu ditekannya tegas.
Well! Saya akui, terkadang saya mudah putus asa. Harapan masuk 25 dalam Sayembara Novel Republika sudah mengalir bersama darah dalam tubuh saya. Tapi ternyata, Sang Penentu Takdir berencana lain. Saya terhenti di 50 besar finalis calon novelis.
“Ana ngerasa nggak idup, Yun!”
“Buka mata ente, Ya! Masih banyak penerbit-penerbit buku yang menghambur ribuan publikasi dalam setahun. Toh kalo nggak diterima di Republika, ente bisa bawa ke Gramedia kek, FLP kek, Gema Insani atau apalah itu”
“Tulisan ana nggak layak publik”
Ya Allah, Ya! Ente tuh udah ngalahin 400 peserta novel di Republika! Seleksi ke 100 ente masuk, kan? Seleksi ke 50 ente juga masuk, kan? Allah punya maksud lain kali, Ya! Makanya ente didiemin Allah pas mau naek ke 25 besar!”
“Ana takut, Yun!”
“Kirim tu tulisan ke penerbit-penerbit yang ente mau. Tunggu reaksi mereka! Kalo ada yang ngasih lampu ijo, langsung proses!”
Saya masih terdiam. Bingung dengan saran Yuna yang brilian. Saya terlanjur down sehingga takut untuk memulai.
“Ente takut, Ya?” Nadin curiga. “Gimana mau melangkah ke jalan kalo merangkak ajah ente takut. Apalagi mau lari!”
“Ana tau ente ngerasa down banget. Sebulan lebih ente nulis tu cerita biar jadi novel. Ana juga tau kebahagiaan ente pas keterima di 100 besar. Dan ana sangat tau rasa sakit atas harapan yang terhenti” Erika sang jenius menambahkan.
Saya masih terdiam. Merasa dunia bergerak cepat sekali.
“Ada saatnya kita memulai dan ada pula saatnya kita berhenti. Yang menyedihkan jika kita berhenti tanpa memperjuangkan apa-apa! Itu yang ana ambil dari ceritanya Yennie Hardiwidjaja” Ami mulai nimbrung.
“Tapi ana kan udah memperjuangkan banyak hal!”
“Cuma segitu?” bantah Ami. Perih.
Saya membisu. Mungkin menurut saya ini sudah ekstra. Tapi pandangan Allah kan lain!
Ami menepuk pundak saya, bijak. “Dalam hidup memang banyak sekali ujiannya. Kadang sulit, terhambat bahkan menyakitkan. Pilihannya cuma dua, SABAR atau GAGAL!”
Saya tertunduk pelan. Dalam hati, saya bersyukur. Teman-teman di sekitar saya selalu mendukung dan memotivasi. Jika saya salah, mereka mengingatkan. Dan mulai saat itu, saya bertekad. I’ll begin my great fight today!
ṧṧṧ
            “Coba kirim ke Gramedia aja, Ya! Ana punya link ke sana” Nadin menyarankan.
            Saya tersenyum, “Makasih ya, Na! Boleh ana minta nomornya?”
            Nadin segera menelpon ibunya. Beberapa menit kemudian, nomor itu masuk ke contact person saya. “Tenks, yo!”
            “Coba telepon dulu aja. Biar prosesnya rada enakan. Hoho..”
            “Iya, ana calling sekarang kali, ya?”
            Nadin mengangguk meyakinkan.
            Sebulan pun berlalu. Diawal jalan, pihak Gramedia bersedia dan menyuruh saya mengirimkannya lewat email. Sudah ada balasan untuk menunggu. Namun sampai saat ini konfirmasi itu seakan terhenti. Apa mbak itu lupa, ya? Saya ber-husnudzon.
            “Mungkin banyak novel yang harus dipublikasikan tahun ini. Peserta Sayembara Republika kemarin kan banyak! Nulis novel itu nggak mudah. Pasti mereka juga mengirimkan karya mereka ke penerbit. Sepertinya yang kirim ke Gramedia banyak” Nadin kembali menyemangati.
            “Iya! Ana juga mikirnya begitu. Tenks, ya! Udah bantu”
ṧṧṧ
            “Di samping nungguin Gramedia, ente cobain ini deh, Ya!” seru Melisa tiba-tiba.
            “Apaan, Mel?”
            “Lomba cerpen di FLP. Ana lomba foto juga, buat blog dan emm.. macem-macem deh!” pandangannya masih tertuju ke arah layar netbook-nya. “Yang cerpen ajah! Kan lumayan kalo dipublikasiin!”
            “Bagus tuh, Mel!” balas Yuna. “Ente coba ajah, Ya! Tentang apa gitu, kita-kita juga boleh! Hehe..” Yuna terkekeh pelan. Ia kembali menyusun tugasnya di halaman kampus.
            “Temanya apa, Mel?” antusias saya meningkat.
            “Baca sendiri gih! Ana nggak ngerti! Hoho..”
            Saya pun mengambil alih netbook-nya. Sejenak saya terdiam. Apa lolos, ya? Kalo nggak diterima lagi, gimana?
            “Kok bengong, Ya?”
            “Eh.. nggak, Mel! Cuma sekedar..”
            “Ente takut, ya?” tuduh Yuna.
            Saya tersenyum kaku. Mungkin mimik saya terlalu fulgar. Ahh.. saya jadi nggak enak sama mereka. “Nggak kok, Yun!”
            “Deadline-nya terakhir besok! Ente siap-siap ya!” Melisa menutup pembicaraan kami siang itu. Kampus pun mulai terlihat sepi.
ṧṧṧ
            FLP itu Forum Lingkar Pena, ya? Tanyaku dalam hati. Saya terpikir untuk mengajukan novel saya yang tidak kunjung dikonfirmasi balik dari Gramedia. Saya tetap berpikir bahwa pihak sana masih sibuk. Itu pasti!
            Kenapa nggak dicoba?
            Namun rasa tetap menunggu terlintas di benak saya. Sepertinya jawaban dari istikharah tadi malam. Saya mulai menulis. Lomba cerpen yang ditawarkan FLP bisa menjadi motivasi untuk proses sabar ini.
            One message recivied.
     Ya! Udah dikirim blom? Itu lho, cerpen ente ke FLP!
            Baru saja saya berniat mengetik jawaban, SMS dari Nadin muncul.
     Gimana ceritanya, Ya? Tentang apa? Gud lak, yo!
            Saya tersenyum. Kedua balasan pun saya mulai ketik. Namun tiba-tiba saja Erika mengirim SMS. Wahh.. mereka aktif!
            Belum sempat saya ketik. Deyana juga mengirim. Waduh! Kapan mo dibalas nih! Beberapa detik kemudian, Ami melakukan hal serupa. Melisa juga nggak kalah. Woi.. ni sengaja apa gimana?
            Saya hanya tersenyum geli. Mereka begitu perhatian terhadap rasa down saya. Hal inilah yang menjadi motivasi saya untuk selalu keep fighting! Walau orang tua juga menjadi motivator utama saya.
            Hari esok, akan saya sambut dengan senyuman.
ṧṧṧ
            “Udah dikirim, Ya?” Yuna menanyakan hal yang sama dengan SMS-nya. Saya mengangguk tersenyum.
            “Judulnya apa, Ya?” sela Melisa dan Deyana bersamaan.
            “Sad ending apa happy?” sambung Erika nggak kalah.
            Saya hanya tersenyum tenang. Sok bijaksana! Hehe.. Sambil memasuki ruangan Matematika, saya mengalihkan pembicaraan, “Eh.. Super Junior mau manggung di Indonesia lho?”
            Serempak semuanya berteriak histeris.
            Sebenarnya saya merasa bersalah. Mereka sudah mendukung penuh dan saya malah tidak bertindak. Bukannya saya tidak menghargai dan tidak pula meremehkan motivasi mereka. Saya masih memikirkan cara menyampaikan hal ini ke mereka.
            Afwan akhwat! Semalem ana ketiduran!
ṧṧṧ
            Ternyata peran seorang teman yang baik merupakan elemen penting bagi seseorang dalam membangun pondasi percaya dirinya. Untuk itu, pilihlah teman yang baik! Atau kitalah yang menjadi teman baik untuk teman kita.
            Nggak ada salahnya kan, memperbaiki diri?
ṧṧṧ

Untukmu, Sang Pemendam Cinta


Tak terbayang...
Ketika rasa itu mulai tumbuh
Ketika hati itu memulai untuk merasakan damainya cinta
Ketika pikiran itu berkabut
Ketika jiwa itu mengikuti derasnya arus hati
Namun pernahkah kau pahami? Suatu saat rasa itu akan pecah?
Ia akan terhambur berkeping
Seakan tangan meremasnya kuat
Seakan mata menatapnya tajam
Seakan kaki menginjaknya kasar
Begitulah rasa yang kau pendam!
Rasa yang akan kau alami jika kau tak pernah mengutarakannya
Hingga detik yang kau benci terjadi
Ia yang kau harapkan membungkammu dengan hawa dingin
Kau terlambat, ia telah terbelenggu cinta yang lain

Namun ketika namanya terus kau gemakan
Ia yang telah mengutarakan rasanya padamu
Menghempasmu bahagia dalam genggamannya
Tatapannya yang teduh menyentuh pandanganmu
Dan kau mengukir senyum saat dedaunan gugur di sekitarmu
Saat hentakan ombak menyapamu lembut
Saat titik-titik hujan membasahi damai duniamu
 putaran angin berhembus memelukmu
Kau tak pernah berhenti tersenyum mengabadikan ia di memorimu
Merasakan indahnya detik-detik saat bersamanya
Inikah yang kau inginkan?
Keterlaluan!
Kau hanya ingin menggapai rasa yang meluap
Kau hanya memenuhi angan yang telah berotasi di pikiranmu
Pernahkah kau menyentuh hati putihmu?

Tutup rasa itu rapat-rapat!
Kau yang belum memulainya dan kau yang sedang terkulai dihatinya!
Apalagi kau yang sedang menikmati pahitnya cinta!
Jangan salahkan takdir yang sedang kau kutuk! Atau bahkan kau puji!
Rasa yang merotasi organmu itu yang harus kau pertanyakan!
Karena ini kehidupan. Di dunia, tak ada yang abadi!

Cinta yang menerpa hatimu memang sebuah fitrah
Namun manusia harus bisa mengartikannya sebenar mungkin
Terlalu egois jika kau selalu hanyut dalam bayangannya
Pendam saja di batinmu!
Tak perlu kau tergesa-gesa mengekspresikan rasa cintamu itu padanya
Karena Allah akan menjawabnya dengan sesuatu yang lebih indah
Yang menjadi sebuah kejutan damai dari-Nya pada saat yang menurut-Nya tepat
Untuk itu bertahanlah pada prinsipmu!
Hargailah ia yang telah menjaga hatinya untukmu!
Ia yang telah berusaha meneguhkan perasaannya
Hanya untuk kau yang masih menjadi misteri baginya
Di saat yang telah Dia rencanakan, ia akan hadir dengan genggaman yang suci
Karena manusia hanya bisa berbuat
Dan Allah-lah yang menentukan...

Created for someone. For remembering the dangerity of the strange affection.

Patah Hati? Wajar Kalee!


G                          Em
Engkau yang sedang patah hati
  Am                        D  
Menangislah dan jangan ragu ungkapkan
  Bm                      Em
Betapa pedih hati yang tersakiti
      Am                     D
Racun yang membunuhmu secara perlahan

            Well! Baru kali ini saya merasakan yang namanya patah hati. Dari dulu saya selalu bertanya dalam hati, patah hati itu gimana ya? Kok orang-orang keliatan menderita banget?  Ternyata benar. Rasanya sakit.
            Heemm.. mungkin ini salah satu prinsip saya untuk tidak pacaran. Ana nggak mau sakit hati! Tapi perasaan tidak bisa berbohong. Saya juga bingung, kok bisa sih saya suka sama dia?
            So, ini yang membuat saya kesal. Sebenarnya saya sama sekali tidak merasakan apa-apa ketika dia datang. Bahkan saya tertawa jika dia ber-acting bak romeo. Jujur saja, saya paling tidak suka mendengar gombalan! Menurut saya itu, menjijikkan!
            Saya kembali memetik gitar milik adik saya yang baru ia beli beberapa hari lalu. Yang saya herankan, mengapa saya menangis? Bodoh sekali! Ngapain juga mikirin dia?!
            Tiba-tiba saja Nadin menelpon, “Afwan, Ya! Baru bales SMS ente. Ente kenapa?”
            Entah mengapa lagi perasaan ini membludak, tangis saya pun pecah, “Ana patah hati nih, Na!” sedikit ada nada ragu untuk mengutarakannya.
            “Ya Allah, Ya! Siapa yang bikin ente patah sih?”
            “Yang kemarin ana ceritain ke ente!”
            “Oh.. yang terus nelponin ente pas ente sakit itu, ya? Ketua band yang namanya An..”
            “Ssstt! Jangan sebut nama dia lagi! Sakit, Na!”
            “Hoho.. oke-oke. Besok cerita, ya?!”
ṧṧṧ
            “Eh, Ya! Tadi Agung nitip absen. Katanya dia nggak bis..” Deyana memegang kedua pundak saya, “Ente kenapa, Ya?”
            “Diem ajah! Aya lagi sakit tuh!” Nadin membela.
            “Kok ente tau, Na?”
            “Dia abis cerita tadi malem, pake nangis-nangis lagi!” Nadin terkekeh. Nggak lucu tau, Na! Saya menatap Nadin kosong.
            “Eh, Ya! Novel ente kapan terbit?”
            “Diem, Yuna! Aya lagi sakit!” Deyana memperaktekkan gaya khas Nadin.
            Yuna bingung, “Sakit? Gara-gara apa?”
            “Patah hati!” jawab saya tanpa basa-basi.
            “Aduuhhhh.. pangeran yang mana sih, yang udah bikin Princess Aya menangis?”
            Saya memandang mereka satu persatu. Kalo di sinetron-sinetron, pandangan itu meminta persetujuan. Maka yang dipandang pun mengangguk meyakinkan. Pas banget deh kayak sinetron Binar Bening Berlian!
            “Maka dari itu ana nggak pernah berani suka sama orang yang belum dihalalkan Sang Pemilik Cinta. Kalo pun ana ada perasaan sama cowok, ana langsung inget, mau ditinggalin dia? Dia kan cuma ingin pacaran! Kalo udah bosen ente bakal dibuang! Kecuali kalo dia pengen serius ke ente! Itu yang ana pikirin”
            “Sama kok, Ya! Ana juga gitu! Kita semua bahkan!” Yuna tersenyum. Tegas. “Ente tau dia?” Yuna menunjuk cowok yang sedang duduk di atas Kawasaki silvernya. “Dia dulu nunjukin rasa sukanya ke ana. Tanya Ami!”
            Ami mengangguk manis. Membenarkan.
            “Dia sering cari perhatian ke ana. Bukannya ana ge er loh!” Yuna melirik Erika yang tersenyum seakan bilang Right! “Sikapnya yang nggak wajar itu yang bikin ana paham kalo dia suka sama ana. Tampang sih not bad! Gayanya juga cukup sopan. Nggak buruk-buruk amet lah. Tapi ana sengaja memperlihatkan sikap nggak suka ana! Sampe-sampe dia menunjukkan bahwa ia udah nggak butuh ana. Kita bisa menilai, kan?! Orang yang sengaja caper dan yang nggak?”
            “Kok ente gitu? Kenapa ente bikin dia kesel?” saya mulai antusias.
            “Ana risih! Lagian ana nggak mau dia sampe ngutarain his feeling. Dia kelihatan maen-maen dalam cinta! Nggak gentle! Hehe..”
            Saya tersenyum kecut. Merasa lucu. Ternyata Yuna bisa ngomong kayak gini juga!
 “Ana sering malah!” sambung Deyana. Teman saya yang satu ini memang bak primadona di kampus. Jadi wajar kalo banyak yang suka. Bohong yang bilang kalo Deyana nih buruk rupa!
            “Maksud ente, Yan? Sering patah hati?” Erika mulai nggak konek.
            “Bukan. Ana sering bikin anak orang patah hati! Hehe..”
            Ahh.. Deyana! Ada-ada aja! “Ente jahat, Yan!”
            “Lho? Dalam urusan ginian kita nggak bisa maen-maen. Mereka itu ngomongnya nembak! Maunya pacaran. Ya ana mana mau! Ada sih, yang serius! Tapi dia nyuruh ana nunggu sampe dia lulus kuliah! Wah.. ana nggak mau memendam cinta selama 4 tahun! Mending kalo 4 tahun berikutnya dia bener-bener nepatin janji. Kalo nggak? Begitu pula sebaliknya. Siapa yang tau keadaan hari esok selain Sang Sutradara!”
            “Untuk itu ente tolak?” sela Ami.
            “Prinsip ana he’s the first and he’s the last! Ana nggak pernah mau pacaran!”
            “Ente bener, Yan!” Erika menunduk dalam. “Sampe sekarang, ana masih risih sama dia. Padahal ana udah bilang kalo ana nggak bisa pacaran!”
            “Temen kita yang kemaren nyapa ente depan foto kopi, ya?”
            Erika mengangguk.
            “Dia masih berkeliaran di sekitar Erika. Untuk menyelesaikan cinta yang belum kelar!” ketus Ami tertawa. Disusul tawa kami yang menghangatkan suasana.
            “Ana malah pernah diajak ketemuan” Ami memulai ceritanya. “Dia itu temen kakak ana. Ana nggak ngasih jawaban pas dia nembak. Karena ana ngerti, dia juga hanya ingin pacaran sama ana”
            “Trus?”
            “Di sisi lain ana terlanjur illfeel sama dia!” Ami mengatur nafasnya, “Masa dia bersihin telinganya di depan ana!”
            Serentak kami tertawa. Ada-ada ajah!
            Tiba-tiba saja, Nadin memegang tangan saya, “Ceritanya gimana sih, Ya? Kok ente sampe patah hati? Dia mutusin ente, ya?”
            Sekejap garis tawa saya pudar.
            Semuanya mengarah ke saya. Diawali tarikan nafas yang panjang, saya memulainya.
            Dia itu teman kakak saya. Persis seperti kisahnya Ami, lewat kakak saya dia mengenali siapa saya. Dia mulai sering menelpon. Karena cara dia sopan, saya menerima telpon dia dan bercerita banyak hal. Dia juga rame dan tidak terdengar dibuat-buat. Saya sama sekali tidak punya perasaan lebih terhadapnya. Saya hanya menganggapnya teman dan biasanya kami saling mengejek bercanda. Toh beda umur kami hanya dua tahun.
            Suatu ketika dia bertanya “kamu udah punya pacar?” Refleks saya menjawab “Saya nggak mau pacaran. Keeping this heart for him. Dia yang seumur hidup!”
            Dia pun tertawa, kembali melanjutkan ceritanya. Tentang Liga Inggris, karena saya suka menonton bola. Jadi bawaan pembahasan kami adalah bola. Untuk itu kami nyambung-nyambung saja.
            Suatu hari di sela-sela tawa kami, dia bertanya “Aku love nih, sama kamu! Kamu mau nggak jadi cewek aku?” saya masih tertawa, bahkan sengaja tidak menghentikan tawa saya, saya jawab “Ngaco! Aku kan udah bilang. Aku nggak mau pacaran!”
            Well. Seiring berjalannya waktu, dia masih sering menelpon. Dia tidak pernah menelpon di malam hari. Mungkin dia paham, itu nggak sopan! Bahasanya pun sopan. Bawaannya lucu. Sehingga suatu hari saya jatuh sakit. Flu berat. Bete! Mengharap akhwats ada yang nelpon. Seenggaknya SMS.
            Saya terkaget, nama dia written di layar HP saya. Calling.  “Napa?” tanya saya ketus.
            “Cuma mau ngingetin. Ntar malem Arsenal vs Chelsea”
            Waduh.. udah tahu saya sakit. Mana bisa saya..
            “Kok diem? Cuma ngasih tau doang! Kali aja kamu boring. Kan better nonton dari pada tiduran. Ntar pusing loh!” candanya jayus.
            Saya tertawa saja. Karena saya merasa terhibur. Cukup lama dia bercerita. Hampir dua jam. Bahkan sampai tak ada pembahasan. Dia pun sampai ngomong “Engg.. apa lagi ya?” Dan saya hanya tertawa. Toh saya nggak bisa bicara banyak. Batuk terus.
            Saya mulai terhibur. Pusing yang tadi memakan saraf-saraf otak pun menghilang. Ada satu kalimat yang membuat saya terdiam, entah mengapa saya berat mengatakannya.
            Saat itu dia ngomong “Ya, sebelum aku say love sama orang lain, aku say love sama kamu dulu. Kamu mau nggak?”
            Sejenak saya terhenti. “Ya udah! say love ajah sama dia! Kenapa harus tanya aku?” aku tertawa kecil.
            “Baiklah. Udah dulu, ya! Aku mau Sholat Jumat!”
            Setelah kalimat salam, dia menutup teleponnya. Saya sedikit terpaku. Namun terbesit hawa tenang. Entah apa artinya.
            Karena bosan, saya membuka Facebook Window. Ada banyak status teman saya like. Namun satu kolom membuat saya tercekat. Bla bla bla telah berpacaran dengan bla bla bla.
            Saya membisu.
            Entah mengapa saya merasa sakit. Perih. Amat perih. Seakan saya menyesal. Mengapa harus menyesal? Toh saya memang tidak menyukainya. Ada apa ini?
            Saya terduduk. Tombol create new message pun saya tekan. “Na, ana pengen ngomong! Sekarang!” pesan itu saya kirim ke Nadin.
            Dan kini tak ada lagi kabar tentangnya. Mestinya saya bersyukur. Allah menyelamatkan saya dari jilatan api siksaan-Nya. Saya sempat merasakan sebuah rasa yang seharusnya tak perlu hadir. Seketika saya menangis. Mengharap ampunan-Nya.
            “Itu pilihan yang tepat, Ya! Nggak banyak orang yang bisa mengambil keputusan bijak kayak ente. Walau itu terasa sakit. Entelah orang yang terplih! Trust me!” Yuna memelukku erat. Disusul akhwats yang ikut menghangatkan hawa di sekitarku.
            “Tenks akhwat! Nggak nyesel berteman ama antunna!”
            Saya kembali melihat warna daun yang hijau.
ṧṧṧ
            Tidak salah bagi turunan Hawa merasakan getaran hebatnya cinta. Fitrah bagi mereka jika rasa itu mendekat. Sebagai pemanis hidup yang Allah berikan pada mereka. Namun, dimana letak ketidak halalnya?
            Rasa itu pula lah yang menjadi peluru untuk menghancurkan tiang cinta mereka pada-Nya. Bullshit yang bilang “aku cinta kamu karena Allah” sedangkan keduanya belum terjalin suci di hadapan-Nya!
            Maka manusia diwajibkan untuk selalu menjaga pandangannya. Ada baiknya pula jika manusia menjaga hatinya hanya untuk dia yang halal nanti. Manusia masih butuh belajar banyak hal. Termasuk tentang penempatan rasa cinta.
            Karena cinta... harus diupayakan..
ṧṧṧ