Senin, 27 Februari 2012

Mengingat Masa Lalu (Bersyukur)


Kata lainnya sih, mengingat masa muda! Alah.. sok tua! Bukannya begitu, sekarang kan kami sudah duduk di universitas. Dulu kami sering ngimpi-ngimpi, gimana ya rasanya kuliah?
            Well! Saya kembali teringat tentang hal konyol yang saya dan beberapa teman saya lakukan. Yang aneh bukan pada kami. Tapi pembicaraan kami memang sedikit menyeleweng kala itu. Saya masuk ke poin inti saja.
            Saat itu saya dan beberapa teman memperhatikan ‘murid-murid sekolah’ kami yang sedang istirahat. Tepat pukul 08.30, istirahat pertama dimulai.
            “Ussi itu cantik ya?! Manis!” komentar Erika tiba-tiba.
            Serentak kami semua melirik ke arah tersangka. Ussi sedang merapikan buku-bukunya. Walau ia diam-diam saja, namun seakan ia tersenyum. Manis bukan?
            “Iya. Manis!” ucap saya sambil meng-kode Erika. “Kalo kata orang Sunda, Ussi itu cameuh. Rahang dagunya mengarah kedepan. Jadi kalo nyengir, barisan gigi bawah lebih maju dari barisan gigi depan” saya mempraktekkan sambil mengira-ngira.
            “Bener, Ya! Ente keliatan manis!” ledek Yuna.
            “Masa?” senyumku tersipu malu. Yuna ngejek nih! “Coba ente, Yun!”
            Yuna menegakkan badannya. Posisi wajah ia atur setegap mungkin. Ia pun mulai melakukan hal serupa. Men-cameuh-cameuh-kan diri. Hehe..
            “Hahayy.. manis kok, Yun! Kayak Ussi!” tawa saya lepas.
            Serentak akhwats menirukan gaya konyol saya dan Yuna. “Ana keliatan manis nggak?”
            Gubrakk! Apa-apaan sih antunna?
ṧṧṧ
            Sebenarnya kami menirukan gaya Ussi bukan untuk terlihat manis. Manis itu kan relatif. Hoho.. menghibur diri!
            Kebiasaan ini menjadi bumerang untuk menembak tawa. Tawa kami akan membanjir begitu saja ketika menirukan gaya Ussi. Sampe terkadang Ussi kesal dan memalingkan wajahnya. Tidak. Ia tidak marah. Ia malu! Hoho..
            Kami sih bersyukur dengan tampang yang seperti ini. Untuk apa dibuat-buat agar terlihat manis? Apalagi kalo mengatur raut wajah setiap waktu, seakan kamera ada dimana-mana. Allah itu Maha Adil. Mau bukti?
            Semanis-manisnya Ussi, ada juga yang menetralisir kemanisannya. Hehe.. ngerti nggak? Saya ceritakan saja.
            Saat itu bel tanda istirahat kedua berbunyi. Kompak sekelas bernapas lega. Suntuk juga belajar terus. Untuk itu istirahat dirancang dua kali.
            “Tadi PR-nya halaman berapa?” tanya Ussi sambil memasukkan buku tulisnya.
            “Yang logaritma bukan sih?” Yuna malah tanya balik.
            Saya menimpali. “Judul yang terakhir itu kan?”
            “Kalo nggak salah latihan 7” sang jenius Erika menjawab semua pertanyaan kami yang mengambang.
            “Yang mana sih?” wajah bingung Ussi membuat kami menatap heran.
            Akhirnya Nadin angkat suara. “Yang itu loh, Si! Barusan Ustadzah Farhanah jelasin. Perasaan cuma satu judul deh hari ini”
            Ussi masih saja berpikir. “Enggg”
            “Masih belum nyambung ya, Si?”
            “Bukan gitu! Kok ana bingung ya?”
            “Inget-inget lagi deh, Si! Ustadzah Farhanah kan baru aja keluar kelas”
            “Nih! Halaman 55. Logaritma. Latihan 7” Yuna langsung mengambil tindakan. Bukti yang ia tunjukkan cukup untuk merubah raut wajah Ussi yang dari tadi terlihat bingung.
            Seketika raut bingung itu berubah “Antunna ngebahas pelajaran Matematika ya? Maksud ana tuh pelajaran Fisika!”
            “WHAT? BILANG DONG DARI TADI!”sembur sekelas sambil mijit jari-jari.
            Setiap manusia memiliki kekurangan dan juga kelebihan. Ussi memang agak kurang connect. Lama baru bisa nyambung. Sampe ni mulut berbusa baru ia ngerti alur pembicaraan. Sampe-sampe kami sering ngomong “Allah memang Maha Adil!” hehe..
            Tapi nggak segitu juga. Ussi malah sangat asyik diajak ngobrol. Sebenarnya sih nyambung-nyambung aja, tapi karena di antara kami semua, Ussi-lah yang paling sering begitu. Walau kami juga sering nggak connect.
            Eits! Tunggu dulu. Gini-gini Ussi hebat lho! Inilah letak keadilan Allah! Ussi itu jago Puisi! Dia sering memerani puisi kolosal yang diadakan pondok. Bahkan Ussi pernah menjadi perwakilan Sulawesi Tenggara membaca puisi di Kalimantan dalam sebuah acara Nasional. Saya lupa namanya apa.
            Kita memang harus banyak bersyukur. Bahkan ada lagi kejadian tragis bertemakan syukur. Ini yang teman saya lakukan.
            “Ana kesel sama bintil item di hidung ana!” keluh Dijiran.
            Kami menoleh ke arahnya. Seketika kami menahan tawa. Emang lucu sih. Tahi lalat segede biji pepaya terbaring nyenyak di ujung hidungnya.
            “Bagus kalee. Itu namanya khas!” puji saya membela.
            “Ana risih nih, Ya! Jadi pengen dioperasi! Planing ana sih bulan depan”
            “Jangan, Dij! Itu nikmat yang Allah kasih ke ente. Selama nggak merusak organ lainnya, itu jangan dibuang! Ente nggak tahu kan kalo tu tahi lalat ada manfaatnya?” kalimat bijak Nadin sedikit memperbaiki jiwa Dijiran yang rapuh.
            “Tapi ini mengganggu, Na! Ana jadi gimana gitu!”
            “Udah! Syukuri ajah! Segala hal yang Allah ciptakan pasti ada manfaatnya! Ngapain juga diciptain tapi nggak bermanfaat?” logika saya bermain.
            Dijiran tersenyum kaku. Mungkin untuk menetralisir hatinya.
ṧṧṧ
            “WOI! Ada kabar panas! Idung Dijiran mulus!”
            Sebenarnya sih saya tertawa geli dengan kabar ini. Entah siapa yang berteriak tadi, suaranya menggelegar sampai seisi kelas penasaran. Saya memang berbeda kelas dengan Dijiran. Jadi respon ‘pengen liat’-nya semakin menggebu-gebu. Hoho..
            “Eh.. serius nggak sih kalo Dijiran itu..”
            “Bener, Ya! Ente nggak ngeliat sih! Ana tu sekamar sama dia. Seakan bulan jatuh! Cling! Tadi pagi sekamar langsung kaget dengan perubahan yang terjadi! Hahayy.. lebay ya?” Erika bersemangat menceritakan gemintang pagi ke saya.
            “Tadi pagi? Berarti dia operasi ke dokternya tadi malam dong?”
            “Nggak, Ya! Dijiran nggak ke dokter. Ia lah yang berperan bak dokter tadi malam”
            “Apa? Dia yang motong sendiri?”
            “Hebat kan? Pake silet! Haha..”
            Saya tersenyum pahit. Serem banget sih tu tragedi!
ṧṧṧ
            Sepekan sudah saya tidak bertemu Dijiran. Operasi yang ia lakukan sendirian itu memang bukti kebulatan tekadnya. Mungki ia sudah tak tahan. Tapi kan sebaiknya hal itu jangan dilakukan.
            “Assalamu’alaikum, Ya!”
            Saya merasa seseorang menyalami saya. Setelah menjawab salamnya, saya berbalik. “Dijiran? Loh hidung ente kok?” saya benar-benar tak menyangka. “Bukannya udah ente silet? Kemaren kan hil..”
            “Kayaknya ente dan Nadin bener. Ana seharusnya bersyukur punya sesuatu dari Allah yang tidak dimiliki orang lain” ia menelan ludahnya. “Tahi lalatnya balik lagi deh!”
            Jegeerrrr!
            Saya hanya bisa tersenyum membenarkan.
ṧṧṧ
            Insiden yang sedikit direkayasa ini saya tulis sama sekali tidak ada maksud apa-apa kecuali untuk mengingatkan kita kembali bahwa kita memang harus bersyukur dengan apa yang sudah Allah beri. Khususnya untuk diri kita masing-masing.
            Allah itu adil! Segala hal di muka bumi ini memiliki manfaat. Makanya kita harus mensyukuri apapun yang sudah Dia ciptakan. Setuju?
ṧṧṧ

Jumat, 24 Februari 2012

God Knows


            The splattering water shoots me. I feel it. It’s the softly drop near me. But I wipe it accidently. I can see the evil done turns to left and right. I will deny it! Even it’s so interested for me. I suppose to go no back… when someone treats me like the splattering water does.
Life. I’ll be end in my stormy department. It’s clumsy, reckless. I stuck all the overruled objections. I bleed. I shriek for thousands second. Heightening the hands and clapping no end. I lay on the giant stone… twisting my part of soul to be mixed with the air… I’ll die!  
Feeling speeded. I realize my aim. It’s too hard to reach. I realize my deficiencies. I understand my state. I stand on the gloomy ground. I can’t imagine my part of my life tale, if I stay at the glittering work way… it’s not easy to spend!
            If I chase the star, I’ll be shocker at once. Pending the root thought for the jumping illusions. God knows that! God knows the destiny destination that I’ll spend. Coz I hold the sturdy aspiration.
            Bounced to the air, I feel I’m flying with no wing. I shrug for a second and stay back to The Lord. The Lord? Don’t give me any strange! Something? No! He is the Lord of everything. I’ll be back soon.
            God doesn’t give what we hope, but He gives what we need. Believe that He always grant all His creatures. No one left! The spread sights never end. He is The Almighty of the universe. Who will deny these words?
            The prayers heard. Prayer admonish promulgated. We just calm our heart and pray. Because actually… He doesn’t need our pray, our praises, our sighs…
            He just wants to hear our effort to get the good destiny. Because the destination has been destined! 

Sabtu, 18 Februari 2012

Peran Seorang Teman


Yuna menarik lengan saya, “Liat ini, Ya! Cocok untuk ente!”
Saya menoleh ke arah layar netbook-nya. Yuna masih mengetik beberapa kata lalu menekan tombol enter. Saya melihat judul yang sudah sangat familiar sekali di telinga saya.
“Ente tuh udah masuk 50 besar! Dan kalo memang yang diterima hanya 25, ente nggak pantes untuk sedih!” kalimat itu ditekannya tegas.
Well! Saya akui, terkadang saya mudah putus asa. Harapan masuk 25 dalam Sayembara Novel Republika sudah mengalir bersama darah dalam tubuh saya. Tapi ternyata, Sang Penentu Takdir berencana lain. Saya terhenti di 50 besar finalis calon novelis.
“Ana ngerasa nggak idup, Yun!”
“Buka mata ente, Ya! Masih banyak penerbit-penerbit buku yang menghambur ribuan publikasi dalam setahun. Toh kalo nggak diterima di Republika, ente bisa bawa ke Gramedia kek, FLP kek, Gema Insani atau apalah itu”
“Tulisan ana nggak layak publik”
Ya Allah, Ya! Ente tuh udah ngalahin 400 peserta novel di Republika! Seleksi ke 100 ente masuk, kan? Seleksi ke 50 ente juga masuk, kan? Allah punya maksud lain kali, Ya! Makanya ente didiemin Allah pas mau naek ke 25 besar!”
“Ana takut, Yun!”
“Kirim tu tulisan ke penerbit-penerbit yang ente mau. Tunggu reaksi mereka! Kalo ada yang ngasih lampu ijo, langsung proses!”
Saya masih terdiam. Bingung dengan saran Yuna yang brilian. Saya terlanjur down sehingga takut untuk memulai.
“Ente takut, Ya?” Nadin curiga. “Gimana mau melangkah ke jalan kalo merangkak ajah ente takut. Apalagi mau lari!”
“Ana tau ente ngerasa down banget. Sebulan lebih ente nulis tu cerita biar jadi novel. Ana juga tau kebahagiaan ente pas keterima di 100 besar. Dan ana sangat tau rasa sakit atas harapan yang terhenti” Erika sang jenius menambahkan.
Saya masih terdiam. Merasa dunia bergerak cepat sekali.
“Ada saatnya kita memulai dan ada pula saatnya kita berhenti. Yang menyedihkan jika kita berhenti tanpa memperjuangkan apa-apa! Itu yang ana ambil dari ceritanya Yennie Hardiwidjaja” Ami mulai nimbrung.
“Tapi ana kan udah memperjuangkan banyak hal!”
“Cuma segitu?” bantah Ami. Perih.
Saya membisu. Mungkin menurut saya ini sudah ekstra. Tapi pandangan Allah kan lain!
Ami menepuk pundak saya, bijak. “Dalam hidup memang banyak sekali ujiannya. Kadang sulit, terhambat bahkan menyakitkan. Pilihannya cuma dua, SABAR atau GAGAL!”
Saya tertunduk pelan. Dalam hati, saya bersyukur. Teman-teman di sekitar saya selalu mendukung dan memotivasi. Jika saya salah, mereka mengingatkan. Dan mulai saat itu, saya bertekad. I’ll begin my great fight today!
ṧṧṧ
            “Coba kirim ke Gramedia aja, Ya! Ana punya link ke sana” Nadin menyarankan.
            Saya tersenyum, “Makasih ya, Na! Boleh ana minta nomornya?”
            Nadin segera menelpon ibunya. Beberapa menit kemudian, nomor itu masuk ke contact person saya. “Tenks, yo!”
            “Coba telepon dulu aja. Biar prosesnya rada enakan. Hoho..”
            “Iya, ana calling sekarang kali, ya?”
            Nadin mengangguk meyakinkan.
            Sebulan pun berlalu. Diawal jalan, pihak Gramedia bersedia dan menyuruh saya mengirimkannya lewat email. Sudah ada balasan untuk menunggu. Namun sampai saat ini konfirmasi itu seakan terhenti. Apa mbak itu lupa, ya? Saya ber-husnudzon.
            “Mungkin banyak novel yang harus dipublikasikan tahun ini. Peserta Sayembara Republika kemarin kan banyak! Nulis novel itu nggak mudah. Pasti mereka juga mengirimkan karya mereka ke penerbit. Sepertinya yang kirim ke Gramedia banyak” Nadin kembali menyemangati.
            “Iya! Ana juga mikirnya begitu. Tenks, ya! Udah bantu”
ṧṧṧ
            “Di samping nungguin Gramedia, ente cobain ini deh, Ya!” seru Melisa tiba-tiba.
            “Apaan, Mel?”
            “Lomba cerpen di FLP. Ana lomba foto juga, buat blog dan emm.. macem-macem deh!” pandangannya masih tertuju ke arah layar netbook-nya. “Yang cerpen ajah! Kan lumayan kalo dipublikasiin!”
            “Bagus tuh, Mel!” balas Yuna. “Ente coba ajah, Ya! Tentang apa gitu, kita-kita juga boleh! Hehe..” Yuna terkekeh pelan. Ia kembali menyusun tugasnya di halaman kampus.
            “Temanya apa, Mel?” antusias saya meningkat.
            “Baca sendiri gih! Ana nggak ngerti! Hoho..”
            Saya pun mengambil alih netbook-nya. Sejenak saya terdiam. Apa lolos, ya? Kalo nggak diterima lagi, gimana?
            “Kok bengong, Ya?”
            “Eh.. nggak, Mel! Cuma sekedar..”
            “Ente takut, ya?” tuduh Yuna.
            Saya tersenyum kaku. Mungkin mimik saya terlalu fulgar. Ahh.. saya jadi nggak enak sama mereka. “Nggak kok, Yun!”
            “Deadline-nya terakhir besok! Ente siap-siap ya!” Melisa menutup pembicaraan kami siang itu. Kampus pun mulai terlihat sepi.
ṧṧṧ
            FLP itu Forum Lingkar Pena, ya? Tanyaku dalam hati. Saya terpikir untuk mengajukan novel saya yang tidak kunjung dikonfirmasi balik dari Gramedia. Saya tetap berpikir bahwa pihak sana masih sibuk. Itu pasti!
            Kenapa nggak dicoba?
            Namun rasa tetap menunggu terlintas di benak saya. Sepertinya jawaban dari istikharah tadi malam. Saya mulai menulis. Lomba cerpen yang ditawarkan FLP bisa menjadi motivasi untuk proses sabar ini.
            One message recivied.
     Ya! Udah dikirim blom? Itu lho, cerpen ente ke FLP!
            Baru saja saya berniat mengetik jawaban, SMS dari Nadin muncul.
     Gimana ceritanya, Ya? Tentang apa? Gud lak, yo!
            Saya tersenyum. Kedua balasan pun saya mulai ketik. Namun tiba-tiba saja Erika mengirim SMS. Wahh.. mereka aktif!
            Belum sempat saya ketik. Deyana juga mengirim. Waduh! Kapan mo dibalas nih! Beberapa detik kemudian, Ami melakukan hal serupa. Melisa juga nggak kalah. Woi.. ni sengaja apa gimana?
            Saya hanya tersenyum geli. Mereka begitu perhatian terhadap rasa down saya. Hal inilah yang menjadi motivasi saya untuk selalu keep fighting! Walau orang tua juga menjadi motivator utama saya.
            Hari esok, akan saya sambut dengan senyuman.
ṧṧṧ
            “Udah dikirim, Ya?” Yuna menanyakan hal yang sama dengan SMS-nya. Saya mengangguk tersenyum.
            “Judulnya apa, Ya?” sela Melisa dan Deyana bersamaan.
            “Sad ending apa happy?” sambung Erika nggak kalah.
            Saya hanya tersenyum tenang. Sok bijaksana! Hehe.. Sambil memasuki ruangan Matematika, saya mengalihkan pembicaraan, “Eh.. Super Junior mau manggung di Indonesia lho?”
            Serempak semuanya berteriak histeris.
            Sebenarnya saya merasa bersalah. Mereka sudah mendukung penuh dan saya malah tidak bertindak. Bukannya saya tidak menghargai dan tidak pula meremehkan motivasi mereka. Saya masih memikirkan cara menyampaikan hal ini ke mereka.
            Afwan akhwat! Semalem ana ketiduran!
ṧṧṧ
            Ternyata peran seorang teman yang baik merupakan elemen penting bagi seseorang dalam membangun pondasi percaya dirinya. Untuk itu, pilihlah teman yang baik! Atau kitalah yang menjadi teman baik untuk teman kita.
            Nggak ada salahnya kan, memperbaiki diri?
ṧṧṧ

Untukmu, Sang Pemendam Cinta


Tak terbayang...
Ketika rasa itu mulai tumbuh
Ketika hati itu memulai untuk merasakan damainya cinta
Ketika pikiran itu berkabut
Ketika jiwa itu mengikuti derasnya arus hati
Namun pernahkah kau pahami? Suatu saat rasa itu akan pecah?
Ia akan terhambur berkeping
Seakan tangan meremasnya kuat
Seakan mata menatapnya tajam
Seakan kaki menginjaknya kasar
Begitulah rasa yang kau pendam!
Rasa yang akan kau alami jika kau tak pernah mengutarakannya
Hingga detik yang kau benci terjadi
Ia yang kau harapkan membungkammu dengan hawa dingin
Kau terlambat, ia telah terbelenggu cinta yang lain

Namun ketika namanya terus kau gemakan
Ia yang telah mengutarakan rasanya padamu
Menghempasmu bahagia dalam genggamannya
Tatapannya yang teduh menyentuh pandanganmu
Dan kau mengukir senyum saat dedaunan gugur di sekitarmu
Saat hentakan ombak menyapamu lembut
Saat titik-titik hujan membasahi damai duniamu
 putaran angin berhembus memelukmu
Kau tak pernah berhenti tersenyum mengabadikan ia di memorimu
Merasakan indahnya detik-detik saat bersamanya
Inikah yang kau inginkan?
Keterlaluan!
Kau hanya ingin menggapai rasa yang meluap
Kau hanya memenuhi angan yang telah berotasi di pikiranmu
Pernahkah kau menyentuh hati putihmu?

Tutup rasa itu rapat-rapat!
Kau yang belum memulainya dan kau yang sedang terkulai dihatinya!
Apalagi kau yang sedang menikmati pahitnya cinta!
Jangan salahkan takdir yang sedang kau kutuk! Atau bahkan kau puji!
Rasa yang merotasi organmu itu yang harus kau pertanyakan!
Karena ini kehidupan. Di dunia, tak ada yang abadi!

Cinta yang menerpa hatimu memang sebuah fitrah
Namun manusia harus bisa mengartikannya sebenar mungkin
Terlalu egois jika kau selalu hanyut dalam bayangannya
Pendam saja di batinmu!
Tak perlu kau tergesa-gesa mengekspresikan rasa cintamu itu padanya
Karena Allah akan menjawabnya dengan sesuatu yang lebih indah
Yang menjadi sebuah kejutan damai dari-Nya pada saat yang menurut-Nya tepat
Untuk itu bertahanlah pada prinsipmu!
Hargailah ia yang telah menjaga hatinya untukmu!
Ia yang telah berusaha meneguhkan perasaannya
Hanya untuk kau yang masih menjadi misteri baginya
Di saat yang telah Dia rencanakan, ia akan hadir dengan genggaman yang suci
Karena manusia hanya bisa berbuat
Dan Allah-lah yang menentukan...

Created for someone. For remembering the dangerity of the strange affection.

Patah Hati? Wajar Kalee!


G                          Em
Engkau yang sedang patah hati
  Am                        D  
Menangislah dan jangan ragu ungkapkan
  Bm                      Em
Betapa pedih hati yang tersakiti
      Am                     D
Racun yang membunuhmu secara perlahan

            Well! Baru kali ini saya merasakan yang namanya patah hati. Dari dulu saya selalu bertanya dalam hati, patah hati itu gimana ya? Kok orang-orang keliatan menderita banget?  Ternyata benar. Rasanya sakit.
            Heemm.. mungkin ini salah satu prinsip saya untuk tidak pacaran. Ana nggak mau sakit hati! Tapi perasaan tidak bisa berbohong. Saya juga bingung, kok bisa sih saya suka sama dia?
            So, ini yang membuat saya kesal. Sebenarnya saya sama sekali tidak merasakan apa-apa ketika dia datang. Bahkan saya tertawa jika dia ber-acting bak romeo. Jujur saja, saya paling tidak suka mendengar gombalan! Menurut saya itu, menjijikkan!
            Saya kembali memetik gitar milik adik saya yang baru ia beli beberapa hari lalu. Yang saya herankan, mengapa saya menangis? Bodoh sekali! Ngapain juga mikirin dia?!
            Tiba-tiba saja Nadin menelpon, “Afwan, Ya! Baru bales SMS ente. Ente kenapa?”
            Entah mengapa lagi perasaan ini membludak, tangis saya pun pecah, “Ana patah hati nih, Na!” sedikit ada nada ragu untuk mengutarakannya.
            “Ya Allah, Ya! Siapa yang bikin ente patah sih?”
            “Yang kemarin ana ceritain ke ente!”
            “Oh.. yang terus nelponin ente pas ente sakit itu, ya? Ketua band yang namanya An..”
            “Ssstt! Jangan sebut nama dia lagi! Sakit, Na!”
            “Hoho.. oke-oke. Besok cerita, ya?!”
ṧṧṧ
            “Eh, Ya! Tadi Agung nitip absen. Katanya dia nggak bis..” Deyana memegang kedua pundak saya, “Ente kenapa, Ya?”
            “Diem ajah! Aya lagi sakit tuh!” Nadin membela.
            “Kok ente tau, Na?”
            “Dia abis cerita tadi malem, pake nangis-nangis lagi!” Nadin terkekeh. Nggak lucu tau, Na! Saya menatap Nadin kosong.
            “Eh, Ya! Novel ente kapan terbit?”
            “Diem, Yuna! Aya lagi sakit!” Deyana memperaktekkan gaya khas Nadin.
            Yuna bingung, “Sakit? Gara-gara apa?”
            “Patah hati!” jawab saya tanpa basa-basi.
            “Aduuhhhh.. pangeran yang mana sih, yang udah bikin Princess Aya menangis?”
            Saya memandang mereka satu persatu. Kalo di sinetron-sinetron, pandangan itu meminta persetujuan. Maka yang dipandang pun mengangguk meyakinkan. Pas banget deh kayak sinetron Binar Bening Berlian!
            “Maka dari itu ana nggak pernah berani suka sama orang yang belum dihalalkan Sang Pemilik Cinta. Kalo pun ana ada perasaan sama cowok, ana langsung inget, mau ditinggalin dia? Dia kan cuma ingin pacaran! Kalo udah bosen ente bakal dibuang! Kecuali kalo dia pengen serius ke ente! Itu yang ana pikirin”
            “Sama kok, Ya! Ana juga gitu! Kita semua bahkan!” Yuna tersenyum. Tegas. “Ente tau dia?” Yuna menunjuk cowok yang sedang duduk di atas Kawasaki silvernya. “Dia dulu nunjukin rasa sukanya ke ana. Tanya Ami!”
            Ami mengangguk manis. Membenarkan.
            “Dia sering cari perhatian ke ana. Bukannya ana ge er loh!” Yuna melirik Erika yang tersenyum seakan bilang Right! “Sikapnya yang nggak wajar itu yang bikin ana paham kalo dia suka sama ana. Tampang sih not bad! Gayanya juga cukup sopan. Nggak buruk-buruk amet lah. Tapi ana sengaja memperlihatkan sikap nggak suka ana! Sampe-sampe dia menunjukkan bahwa ia udah nggak butuh ana. Kita bisa menilai, kan?! Orang yang sengaja caper dan yang nggak?”
            “Kok ente gitu? Kenapa ente bikin dia kesel?” saya mulai antusias.
            “Ana risih! Lagian ana nggak mau dia sampe ngutarain his feeling. Dia kelihatan maen-maen dalam cinta! Nggak gentle! Hehe..”
            Saya tersenyum kecut. Merasa lucu. Ternyata Yuna bisa ngomong kayak gini juga!
 “Ana sering malah!” sambung Deyana. Teman saya yang satu ini memang bak primadona di kampus. Jadi wajar kalo banyak yang suka. Bohong yang bilang kalo Deyana nih buruk rupa!
            “Maksud ente, Yan? Sering patah hati?” Erika mulai nggak konek.
            “Bukan. Ana sering bikin anak orang patah hati! Hehe..”
            Ahh.. Deyana! Ada-ada aja! “Ente jahat, Yan!”
            “Lho? Dalam urusan ginian kita nggak bisa maen-maen. Mereka itu ngomongnya nembak! Maunya pacaran. Ya ana mana mau! Ada sih, yang serius! Tapi dia nyuruh ana nunggu sampe dia lulus kuliah! Wah.. ana nggak mau memendam cinta selama 4 tahun! Mending kalo 4 tahun berikutnya dia bener-bener nepatin janji. Kalo nggak? Begitu pula sebaliknya. Siapa yang tau keadaan hari esok selain Sang Sutradara!”
            “Untuk itu ente tolak?” sela Ami.
            “Prinsip ana he’s the first and he’s the last! Ana nggak pernah mau pacaran!”
            “Ente bener, Yan!” Erika menunduk dalam. “Sampe sekarang, ana masih risih sama dia. Padahal ana udah bilang kalo ana nggak bisa pacaran!”
            “Temen kita yang kemaren nyapa ente depan foto kopi, ya?”
            Erika mengangguk.
            “Dia masih berkeliaran di sekitar Erika. Untuk menyelesaikan cinta yang belum kelar!” ketus Ami tertawa. Disusul tawa kami yang menghangatkan suasana.
            “Ana malah pernah diajak ketemuan” Ami memulai ceritanya. “Dia itu temen kakak ana. Ana nggak ngasih jawaban pas dia nembak. Karena ana ngerti, dia juga hanya ingin pacaran sama ana”
            “Trus?”
            “Di sisi lain ana terlanjur illfeel sama dia!” Ami mengatur nafasnya, “Masa dia bersihin telinganya di depan ana!”
            Serentak kami tertawa. Ada-ada ajah!
            Tiba-tiba saja, Nadin memegang tangan saya, “Ceritanya gimana sih, Ya? Kok ente sampe patah hati? Dia mutusin ente, ya?”
            Sekejap garis tawa saya pudar.
            Semuanya mengarah ke saya. Diawali tarikan nafas yang panjang, saya memulainya.
            Dia itu teman kakak saya. Persis seperti kisahnya Ami, lewat kakak saya dia mengenali siapa saya. Dia mulai sering menelpon. Karena cara dia sopan, saya menerima telpon dia dan bercerita banyak hal. Dia juga rame dan tidak terdengar dibuat-buat. Saya sama sekali tidak punya perasaan lebih terhadapnya. Saya hanya menganggapnya teman dan biasanya kami saling mengejek bercanda. Toh beda umur kami hanya dua tahun.
            Suatu ketika dia bertanya “kamu udah punya pacar?” Refleks saya menjawab “Saya nggak mau pacaran. Keeping this heart for him. Dia yang seumur hidup!”
            Dia pun tertawa, kembali melanjutkan ceritanya. Tentang Liga Inggris, karena saya suka menonton bola. Jadi bawaan pembahasan kami adalah bola. Untuk itu kami nyambung-nyambung saja.
            Suatu hari di sela-sela tawa kami, dia bertanya “Aku love nih, sama kamu! Kamu mau nggak jadi cewek aku?” saya masih tertawa, bahkan sengaja tidak menghentikan tawa saya, saya jawab “Ngaco! Aku kan udah bilang. Aku nggak mau pacaran!”
            Well. Seiring berjalannya waktu, dia masih sering menelpon. Dia tidak pernah menelpon di malam hari. Mungkin dia paham, itu nggak sopan! Bahasanya pun sopan. Bawaannya lucu. Sehingga suatu hari saya jatuh sakit. Flu berat. Bete! Mengharap akhwats ada yang nelpon. Seenggaknya SMS.
            Saya terkaget, nama dia written di layar HP saya. Calling.  “Napa?” tanya saya ketus.
            “Cuma mau ngingetin. Ntar malem Arsenal vs Chelsea”
            Waduh.. udah tahu saya sakit. Mana bisa saya..
            “Kok diem? Cuma ngasih tau doang! Kali aja kamu boring. Kan better nonton dari pada tiduran. Ntar pusing loh!” candanya jayus.
            Saya tertawa saja. Karena saya merasa terhibur. Cukup lama dia bercerita. Hampir dua jam. Bahkan sampai tak ada pembahasan. Dia pun sampai ngomong “Engg.. apa lagi ya?” Dan saya hanya tertawa. Toh saya nggak bisa bicara banyak. Batuk terus.
            Saya mulai terhibur. Pusing yang tadi memakan saraf-saraf otak pun menghilang. Ada satu kalimat yang membuat saya terdiam, entah mengapa saya berat mengatakannya.
            Saat itu dia ngomong “Ya, sebelum aku say love sama orang lain, aku say love sama kamu dulu. Kamu mau nggak?”
            Sejenak saya terhenti. “Ya udah! say love ajah sama dia! Kenapa harus tanya aku?” aku tertawa kecil.
            “Baiklah. Udah dulu, ya! Aku mau Sholat Jumat!”
            Setelah kalimat salam, dia menutup teleponnya. Saya sedikit terpaku. Namun terbesit hawa tenang. Entah apa artinya.
            Karena bosan, saya membuka Facebook Window. Ada banyak status teman saya like. Namun satu kolom membuat saya tercekat. Bla bla bla telah berpacaran dengan bla bla bla.
            Saya membisu.
            Entah mengapa saya merasa sakit. Perih. Amat perih. Seakan saya menyesal. Mengapa harus menyesal? Toh saya memang tidak menyukainya. Ada apa ini?
            Saya terduduk. Tombol create new message pun saya tekan. “Na, ana pengen ngomong! Sekarang!” pesan itu saya kirim ke Nadin.
            Dan kini tak ada lagi kabar tentangnya. Mestinya saya bersyukur. Allah menyelamatkan saya dari jilatan api siksaan-Nya. Saya sempat merasakan sebuah rasa yang seharusnya tak perlu hadir. Seketika saya menangis. Mengharap ampunan-Nya.
            “Itu pilihan yang tepat, Ya! Nggak banyak orang yang bisa mengambil keputusan bijak kayak ente. Walau itu terasa sakit. Entelah orang yang terplih! Trust me!” Yuna memelukku erat. Disusul akhwats yang ikut menghangatkan hawa di sekitarku.
            “Tenks akhwat! Nggak nyesel berteman ama antunna!”
            Saya kembali melihat warna daun yang hijau.
ṧṧṧ
            Tidak salah bagi turunan Hawa merasakan getaran hebatnya cinta. Fitrah bagi mereka jika rasa itu mendekat. Sebagai pemanis hidup yang Allah berikan pada mereka. Namun, dimana letak ketidak halalnya?
            Rasa itu pula lah yang menjadi peluru untuk menghancurkan tiang cinta mereka pada-Nya. Bullshit yang bilang “aku cinta kamu karena Allah” sedangkan keduanya belum terjalin suci di hadapan-Nya!
            Maka manusia diwajibkan untuk selalu menjaga pandangannya. Ada baiknya pula jika manusia menjaga hatinya hanya untuk dia yang halal nanti. Manusia masih butuh belajar banyak hal. Termasuk tentang penempatan rasa cinta.
            Karena cinta... harus diupayakan..
ṧṧṧ

Jumat, 17 Februari 2012

Robin Van Persie versi Indonesia


What?? RVP ala Indonesia?? Serius??
Hahayy.. saat buming-bumingnya Van Persie di kalangan Pecinta Bola Inggris, saat demam RVP yang hampir saja merenggut separoh jiwa mereka yang terlanjur terjangkit virus Emirates10, kini di Indonesia tercpita sudah sang legendaris D’ Gunners yang diimpi-impikan jutaan loversnya. Hohoho.. lebay ya? Tapi begitulah yang terjadi. Memang sih, saya membesar-besarkan saja. Tapi mau bagaimana lagi? Saya benar-benar melihat ruh Van Persie  di wajah lelaki itu! Sudahlah! Percaya saja. Ini kan cerita saya. Hoho..
Tepat pada hari Senin aktivitas perkuliahan kembali dimulai setelah libur sebulan lamanya. Ya. Menurut saya lama. Karena saya memang sedang tidak memiliki planing saat liburan itu. Memasuki mata kuliah pertama, seisi kelas masih ribut. Dosen pun masuk. Keadaan bertolak, semuanya membisu. Hanya satu kata yang menyerempakkan suara kelas. Killer! Ya, sang dosen terlihat seperti itu. Ahh.. Ciri-ciri masuk tepat waktu! Tapi sebagai mahasiswi teladan, saya harus terlihat tenang. Dengan sekali berdehem, mendadak seisi kelas terdiam. Wahh.. jadi nggak enak!
Petuah sang dosen ternyata banyak juga. Mulai dari disiplin umum sampai dengan sistem materi. Inti keseluruhannya baik. Untuk membuat mahasiswa lebih taat dan menghargai dosen yang sedang mengajar. Salah satunya seperti ini..
“Kita sudah sepakat. Sebagaimana yang tertulis di jadwal pelajaran. Masuk tepat jam 07.30. Baiklah, mungkin terlalu pagi, maka saya kasih toleransi...” beliau mengatur nafasnya. Suasana kelas masih tegang, berharap jadwal berubah agak siangan.
“Lebih lima menit tidak apa-apa!”
Yahh... hanya lima menit? Oke. Ini keputusan dosen. Kita harus menghargai disiplin. Terpaksa!
“Yang terlambat satu menit pun, lebih baik tak usah masuk kelas. Tidak sopan jika anda membuka pintu yang sudah saya tutup!”
Baiklah. Ini juga part of rule. Harus diterima! Hanya saja, dosen ini berlebihan. Dua jam sudah kami mematung tegang. Pembahasannya begini-begini saja. Maaf, Pak!
Akhirnya selesai sudah. Tepat dua jam setengah. Dan miliu di luar kelas saat itu adalah pemilihan ketua BEM di fakultas saya. Mendadak keadaan menjadi ramai. Tidak seramai biasanya. Banyak sekali yang menawarkan kertas-kertas berterakan visi-misi sang calon ketua. Ahh.. membosankan sekali! Enam kertas yang saya pegang dari pemberi yang berbeda. Saya juga mengambilnya karena kasihan pada mereka. Sudah susah payah menebar senyum terbaiknya agar saya dan teman-teman yang lain menerima lembaran itu. Kasarnya sih, sebagai rasa prihatin kami. Hoho.. maaf ya!
Dari enam kertas itu, saya baca salah satunya. Menurut saya sih pada dasarnya visi-misi mereka sama. Begitu-begitu saja. Dengan sedikit senyum yang dibuat-buat (agar terlihat serius namun anggun.. hehe) saya membacanya perlahan. Satu demi satu. Perkata demi kata. Bait perbait. Butir perbutir. Akhirnya senyum saya pudar. Capek!
“Eh Ya, ente mau pilih siapa nanti?”
“Apaan?” jawab saya sok nggak ngerti.
“Itu loh, ketua...”
“Ohh...” saya potong langsung, “Nggak tau. Nggak ada yang ‘ngeh’ di hati”
Jiahhh.. emang ini apaan? Haha.. saya melipat semua kertas yang dari tadi meluk-meluk jemari saya. Dibuang saja!
“Woi... Ada dosen!!” teriak seseorang. Nggak tahu siapa.
Berduyun-duyun saya dan teman-teman anak yang berstatus MABA memasuki kelas. Yahh... kursinya penuh semua! Akhirnya saya dan beberapa teman menyeret kursi kelas sebelah. Maklum, kapasitas kelas kami kurang untuk komposisi kami yang overdosis! Rekapitulasi yang salah.
“Apa? Dosen ini lagi?”
Serentak sekelas melemah.
ṧṧṧ
            Wajah kami semakin kucel saat dosen tersebut keluar kelas. Pasalnya tiba-tiba saja ‘kakak’ calon ketua nyelonong masuk tanpa memberi kami kesempatan keluar. Niatnya sih, kami mau kabur. Tapi banyak sekali kakak-kakak senior yang berjabatan Tim Sukses sang calon ketua. Hoahh.. menguap pun kami tampakkan. Tanda kesal dan malas. Nggak sopan ya?
            “Mo ada kampanye, ya?” Ami yang item manis menoleh ke arah saya.
            “Kayaknya gitu” kesal juga.
            “Lapeerr” keluh Deyana, teman saya yang satu ini memang agak manja.
            “Sstt! Denger ajah! Orasi udah mo dimulai!” Yuna mulai risih. Ribut sih!
            “Baiklah.. saya persilahkan untuk calon ketua. Ajukan visi-misi anda agar adik-adik kita yakin untuk memilih anda!” kata pembuka dari tim sukses membuat kami semakin kuyuk.
            “Assalamu’alaikum.. saya Arjuna.. disini saya..”
            Deg!
Kalimat Kak Arjuna tidak dapat saya dengar lagi. Wajah itu.. mirip.. saya mencoba mengingat lukisan-lukisan gemintang yang bertebaran di kanvas ingatan saya. Robin Van Persie!
Tak ada lagi rasa kesal. Mata yang tadi berpotensi bak lampu kamar mandi kini berputar indah bak lampu kristal di Mesjid Agung kota. Hoho.. kan jarang ada orang yang mirip bintang Liga Inggris, apalagi sekece RVP!
Lama-lama ajah, Kak! Gak papa kok! Gumam saya sambil melambung entah kemana.
“Ya! Ente kenapa?” Ami menatap heran.
“Oo.. nggak! Kelilipan nih!” ngaco!
Semuanya berakhir begitu cepat. Akhirnya Kak ‘RVP’ tersenyum hangat tanda solideritas. Oke, it’s not bad! He’s looked so perfect with his wise speech.
“Cuma segini, ya?” spontan saya agak protes. Akhwat menoleh ke arah saya.
“Emang napa, Ya?” Yuna mulai sentimen.
Saya melirik jam tangan bola saya, “Kok udah selesai?”
“MAKSUD ENTE???” kompak semuanya melotot. Biasa ajah dong, Bu!
Saya nyengir sok polos. Afwan, tadi itu keceplosan!
ṧṧṧ
            Atmosfer kamar saya seakan mendingin. Udaranya maksud saya. Saya mematikan kipas angin yang berotasi di ujung kamar. Saya mulai mengingat wajah Kak ‘RVP’. Kok lupa ya? Yang keinget malah wajah Van Persie sungguhan. Ahh.. gak seru!
            Akhirnya, niat menghayalkan Kak ‘RVP’ jadi terputus. Hilang begitu saja. Bagus juga sih.. ngurangin dosa. Hehe..
            Lagi-lagi malam itu saya terlelap dengan memeluk erat boneka bola besar pemberian Mama.
ṧṧṧ
            “Ente ngefens sama Kak Arjuna ya?” tuduh Deyana. Ihh.. nggak sopan!
            “Nggak ah! Kata siapa?”
            “Ami” jawab Deyana tanpa dosa. Wah.. Ami nyari ribut nih..
            “Haha.. nggak tuh. Ngapain juga ngefens sama tu kakak?” senyum saya malu-malu. Sempat mata ini mencari sosok  Si Item Manis. Ami. Mana sih tu anak?
            Deg!
            Kedua bola mata saya terhenti dari pengintaian Ami. Kak ‘RVP’? spontan saya terpaku. Sok-sok tidak berkedip. Padahal mata ini dah perih. Kena angin. Ia pun berjalan mendekat. Dan semakin dekat..
            Tapi kok..
            Sedetik kemudian harapan ngefens itu pupus.
            Ternyata nggak mirip!
ṧṧṧ
            Jangan terlalu mudah tertarik sama orang yang baru kita kenal. Biasanya dia hanya terlihat perfect padahal biasa saja. Mungkin bahkan kurang. Namun ada juga yang first sight-nya baik. Mungkin dia memang tidak bersikap yang dibuat-buat.
            Sebenarnya ceritanya bukan seperti itu. Pengennya sih, saya yang tadi tertarik sama Kak ‘RVP’ gara-gara ia tegas dan bijak dalam berkata, walau di sisi lain dia mirip Van Persie, akan menghentikan rasa kagum itu karena ternyata Kak ‘RVP’ tidak sebijak yang saya sangka. Tapi terlalu panjang dan terlihat saya mudah sekali termakan first sight! Nanti saya dinilai ‘aneh’. Hehe..
            Tapi sama sajalah intinya.
            Pesan saya, kita sebagai cewek yang sudah jaga diri, harus bisa pula jaga hati. Kita perlu mengurangi ngefens-ngefens yang nggak bermanfaat. Bukan berarti nggak boleh. Hanya saja harus kita selaraskan dengan janji kita sebagai ‘makhluk yang taat’.
            Urusan blink-blink-nya dunia memang perlu untuk hiburan. Namun apakah urusan tiket akhirat tidak diutamakan? Bagaimana menurut anda?
ṧṧṧ

Indahnya Memahami


“Kapan nih mau makan? Laper...” keluh Erika sok manja.
            Erika itu salah satu my akhwats. Dia pintar. Paling pintar di antara kami. Kami menyebutnya jenius. Mungkin kalo Erika membaca tulisan saya ini, dia akan kaget. Terlalu digede-gedein! Tapi ya memang begitu faktanya. Erika itu jenius!
            “Bentar! Ami belom dateng” Melisa membela Ami. Pagi itu kami menunggu Ami di koridor kampus. Tidak ada perkuliahan yang aktif. Kami janjian agar bersama-sama membayar SPP untuk semester kedua. Kampus terlihat agak sepi.
            Ami. Cewek yang item manis. Dia sendiri pernah ngaku kalo dia itu manis (hehe... piss Am! Ente pasti keki!). Ami kami kenal pemaaf. Begitulah Ami, berhati malaikat! Namun agak pendiam. Tapi waktu kami masih staying di pondok, Ami termasuk dalam jejeran anak gokil. Entah mengapa sekarang berubah. Sepertinya ia mulai sadar. Diam itu emas! Hoho..
            Berarti saya sudah menyebutkan lima teman saya. Melisa yang baik, Yuna yang tegas, Deyana yang lembut, Erika yang jenius dan Ami yang pemaaf. Masih ada satu lagi. Namanya Nadin. Dialah yang paling mengerti sifat kami. Jika sifat negatif kami terbit, Nadin yang membenamkannya. Nadin itu supel. Membuat dia semakin kami sayang.
            Well! Semua akhwats sudah saya bahas.
            “Ami! Ente dimana?” dengan cekatan, Deyana menelpon Ami. “Ente tau nggak sih! Ente tuh yang paling terindah sekarang!” Deyana mulai kesal. Nyinggung.
            “Apa kata Ami?” Nadin melirik Deyana yang baru saja menekan tombol End Call di layar HP-nya.
            “Masih di Bundaran Baruga. Biasa! Angkotnya ngetem! Alah.. alesan!” Deyana mengutuk. Nadin nyengir saja mendengar alasan Ami. Memang. Alasan angkot ngetem itu paling ampuh kalo udah ditunggu banyak orang dan kita belum sampai di lokasi.
            “Makannya gimana nih, akhwat?”
            “Iya, Ka! Kita nunggu Ami. Kasian juga kalo ditinggalin” Yuna  membela juga.
            “Okeh lah!”
            “Ahh! Ami kelamaan! Mestinya dia liat waktu! Udah sejam dia telat! Ana kesel banget sama orang yang nggak tepat waktu! Itu namanya ia nggak menghargai waktu yang berjalan!” saya mengangkat suara.
            Pasangan mata mereka menatap saya. Serentak melirik jam tangan masing-masing.
            “Ente tega ya? Temen sendiri dihakimi! Seakan ente nggak pernah telat aja!” nada itu menajam. Yuna mengarahkan mata elangnya ke arah saya. Mengesalkan! Maksud dia apa?!
            “Ana nggak suka nunggu! Seterlambat-terlambatnya ana di jalan, ana bakal turun dan naek ojek! Demi teman-teman yang udah lama nunggu!” bela saya nggak kalah tajam.
            “Emang ente tau kalo Ami santai? Dia juga was-was kali! Nggak enak sama kita! Mestinya ente yang ngertiin dia! Rumah dia lebih jauh dari rumah ente!”
            “Whatever lah! Terus ajah belain yang salah!” saya mengakhiri.
            Entah mengapa pagi itu terasa panas. Tak ada yang menengahi kami. Yuna itu berwatak keras. Saya juga mengaku, terkadang ego saya menguasai sisi jiwa saya yang 'lembut'. Di lain rasa, saya berusaha mengatur temperatur itu.
            Hal itu yang saya benci dari Yuna. Ia selalu membantah argumen saya. Saya juga salah, sih. Egoisme saya inilah yang menggetarkan nurani Yuna untuk menegur kebiasaan buruk saya. Namun tetap saja saya kesal!
            “Ente egois, Ya!” kalimat itu membentur dinding hati saya. Perih.
            Saya berdiri. Melirik Yuna kasar. Andai saja samudera dapat saya kuras, ingin skali saya menumpahkan isinya pada Yuna. Saya memadamkan kobaran api yang melilit batin.
            Saya meninggalkan forum penantian Ami.
ṧṧṧ
            Siangnya kami mampir ke warung makan di depan kampus. Fasilitas hotspot yang disediakan oleh pemilik warung membuat saya dapat menghindari percakapan akhwats yang bersutradara Yuna. Ya, Yuna sedang berkisah entah apa. Saya kan malas mendengarnya!
            “Eh, Ka! Ente yang bayar ke Mbaknya ya! Ana males berdesak-desak just for paying!” saya menaruh uang sepuluh ribu di hadapan Erika.
“Oke, kumpulin uang bayarnya sama ana ajah” Erika mengumbar senyum. Ia mulai mengeluarkan dompetnya. Nadin dan Deyana juga melakukan hal yang sama. Beberapa masih menikmati makanan yang tersisa.
            “Nggak usah! Nanti ana yang bayar semuanya!” cetus Yuna.
            “Hoho.. bener nih?”
            “Iya. Kita ada berapa sih?” Yuna mulai menghitung.
            “Tujuh!” Nadin membantu.
            “Ohh.. kirain enam!” senyum sinis Yuna menghantam pandangan saya.
            Hei... ente nggak nganggap ana ya, Yun?
            “Ana bayar sendiri!” saya segera beranjak dari meja panas itu. Atmosfer bumi udah meledak! Panas! Langkah saya tegap tanpa melirik ke belakang.
            Sepertinya Erika terkejut, “Yun! Ente apa-apaan sih?”
            “Biarin! Masa biar bayar ajah dia nyuruh orang. Cewek pemakan ego!”
            Lagi-lagi semuanya terdiam. Membiarkan Yuna menghabiskan rasa kesalnya. Jika dilerai, Yuna akan membantah. Yuna kembali tersenyum sinis penuh arti. Dan Nadin yang membalas senyum kemenangan itu. Menatap kedua temannya yang sama-sama berteguhan keras. Walau sebenarnya saya dan Yuna berteman sangat dekat. Terkadang dalam lingkup pertemanan memang seperti itu.
            “Kita balik yuk!” ajak Nadin mencairkan suasana yang sempat membeku.
ṧṧṧ
            “Slip Pembayaran SPP dikumpul sama Ketua Tingkat ya?”
            “Iya. Foto kopiannya. Kesel banget! Mana Ketua Tingkat kita ogah-ogahan dateng!” gerutu Melisa yang menjawab pertanyaan Nadin.
            “Aya mana?” tanya Yuna tiba-tiba. Ia melirik Deyana.
            “Udah balik. Tadi dia cuma nitip kopian Slip SPP-nya ke Nadin”
            “Cewek egois! Mana Slipnya?”
            Deyana membuka map kuning Nadin. Selembar kertas bercorak hitam itu segera berpindah tangan. “Mau diapain, Yun?”
            “Ditelan! Ya disimpen lah, Yan!”
            Deyana menelan ludahnya keki. Kayaknya Yuna sentimen lagi ke Aya!
            “Woi! Anak semester satu dipanggil Ketua Jurusan! Semuanya ke Auditorium Fakultas!” teriak seseorang. Entah siapa.
            Pemberitahuan yang panjang. Ketua Jurusan membacakan ketentuan di semester dua. Ujung-ujungnya, beliau menagih tugas Take Home yang pernah diumumkan beliau untuk pengambilan Jadwal Kuliah bagi seluruh mahasiswa semester pertama. Untung saja mahasiswa yang hadir membawa tugas itu.
            “Aya gimana nih?”
            “Suruh dateng ajah!”
            “Nggak usah!” senyum Yuna memaku akhwats. Nadin dan Deyana saling menatap bingung. Melisa menyeritkan dahi. Hal yang serupa dilakukan oleh Ami dan Erika.
            “Maksud ente, Yun?”
            Yuna hanya mengangkat alis kanannya. Tanda terompet kemenangan akan berkumandang.
ṧṧṧ
            Sore itu saya mendapat SMS dari teman kelas saya. Sudah kumpul tugas Take Home dari Ketua Jurusan, Ya? Saya segera menelponnya.
            “Kamu belum ngumpulin ya?”
            “Iya nih! Emang kapan terakhir?”
            “Loh? Kamu nggak ke kampus hari ini? Bukannya sebelum final Ketua Jurusan bilang bahwa tugasnya dikumpul tanggal 3 Februari? Hari ini 3 Februari kan?” suara di seberang sana terdengar kaget.
            “Saya...”
            “Telepon Staf Jurusan aja deh!” sarannya mengakhiri.
            Tombol nomor saya tekan. Di sela-sela nada tunggu, saya menatap langit. Berharap Allah menganugrahkan keajaibannya. Beberapa detik kemudian saya terhubung dengan seorang staf. Saya mulai bertanya sopan meminta toleransi. Gara-gara males nunggu nih!
            “Siapa tadi? Shabriyah Akib, ya? Kelas B? Hhmm... oh iya! Sudah ada. Judul makalah anda Kebijakan Fiskal Pem...”
            Entah mengapa tangan saya melemah.
            Saya segera menghubungi Nadin.
            “Tugas Take Home ya, Ya?” suara pelan Nadin terdengar tertawa. Saya terduduk di atas kasur, “Ana serius nih!”
            Nadin melepaskan tawanya. Membuat saya semakin bingung, “Yuna yang ngerjain. Dia bela-bela ke warnet nge-download artikel buat tugas ente!”
            Saya pun membisu.
            Kini saya mengerti. Senyum tajamnya, kalimat sinisnya dan sindiran pahitnya. Yuna hanya ingin menghentikan ego saya yang selalu meninggi. Belum lagi saya selalu membantah peringatan Yuna yang sebenarnya baik untuk mengembalikan sisi sifat lembut saya. Untuk itu Yuna sengaja melakukan ini. Memang saya yang terlalu negative thingking ke Yuna. Tenks, Yun! Ente ngingetin ana dengan cara ini! Ana emang egois, maaf ya?
ṧṧṧ     
Teman yang baik akan menegur kebiasaan temannya jika kebiasaan itu buruk. Walau itu akan terasa sakit. Nada biacara yang keras akan membuat lawan bicara mengeras pula. Tak akan merendah sampai keduanya lelah. Apalagi jika keduanya berwatak keras. Untuk itu perlunya sikap tulus yang akan menurunkan suhu perwatakan tersebut. Meski harus dimulai dengan berat. Kita harus bisa saling memahami.
            Karena saling mengingatkan itu... indah.
ṧṧṧ

Kamis, 16 Februari 2012

First Day di Kampus


“Udah lama nggak ketemu mereka” celetuk Melisa di suatu pagi.
            “Bener. Ramadhan nanti, reunian yuk!” sambung Yuna sumringah.
            Tak ada jawaban. Yang lain pada sibuk dengan handphone masing-masing.
            “Antunna denger nggak sih?” Yuna mulai protes. Kami tersenyum saja. lalu kembali lagi dengan kesibukan masing-masing. Maaf ya, yun! Lagi penting nih! Hehe..
            Antunna itu berartikan kalian. Dalam Bahasa Arab diperuntukkan untuk panggilan ke perempuan. Tata bahasanya lumayan banyak. Sudahlah! Intinya antunna itu berartikan kalian.
            Saya perkenalkan teman-teman saya yang menjadi peri-peri kehidupan saya sekarang. Saya sebut satu persatu saja ya, kalo dikenalkan sekaligus nanti kelamaan.
Melisa dan Yuna yang sudah saya terlanjur sebut. Melisa itu teman yang paling baik. Kalo bicara tentang ras dan keturunan, Melisalah yang paling putih. Putih di kulit. Ia rame. Namun kadang ia sedikit malas untuk bergabung sama kita dalam percakapan yang panas. Seperti gosip lah kata kasarnya. Tapi kami jarang melakukan itu. Menggosip itu tidak baik. Dosa! Iya kan? (kata Yuna, “Awas ajah kalo ketahuan menggosip!” Hoho.. ente juga kan?)
Yuna. Cewek paling gubrakk buat saya. Tapi dialah yang paling tegas di antara kami. Tegas bukan berarti dewasa lho! Kalo menyinggung tentang kedewasaan, saya lah yang paling dewasa! Hehe.. pasti pada protes!
Saya menyebut mereka ‘akhwat’. Yang berartikan saudara-saudara perempuan. Bahkan terkadang ada dari mereka yang menambahkan huruf s, menjadi ‘akhwats’. Maksud mereka sih kalo banyak dipanggil akhwats saja. Tapi kan salah. Dalam Tata Bahasa Arab, akhwat itu sudah jama’. Emang Bahasa Inggris begitu, tapi kan ini lain! Namun mereka juga membela “Kita kan Indonesia. Nyampur-nyampur nggak papa kalee!”
Well! Mungkin karena di pondok, kami menggunakan Bahasa Arab dan Inggris dalam percakapan sehari-hari. Tidak ada hari yang membolehkan kami berbahasa Indonesia. Untuk pendidikan, kami setuju dengan peraturan itu. Walau aoaK berat menjalaninya.
“Kita masuk jam berapa nih, Ya?” Yuna menyikut lengan saya. “Aya?” panggilnya berat. Suara Yuna memang begitu. Berat-berat gimana gitu. Kalo bidang tarik suara, Yuna paling hebat. Suaranya indah. Serak-serak basah. Agak mirip dengan suara saya. Hehe.. jangan ada yang protes lho!
Melisa dan Yuna sudah saya sebut. Sebenarnya masih ada empat lagi. Belum juga saya menyebut teman-teman putra. Total keseluruhan sebelas. Wahh.. masa isi tulisan saya tentang mereka satu-persatu? Siapa yang mau baca nanti? Belum lagi kalo teman-teman yang di Jawa minta disebut juga? Waduhh.. total 40 dong. Tambah putranya 60 jadi 100-an. Whoaaaa.. nggak jadi nulis!
Oke. Saya sebut yang terdekat saja lah. Kalau memang penting, akan saya tulis juga. Tapi ber-part saja. Kepanjangan kalo ditulis se-part.
“Aya?” ulang Yuna. Lamuman saya pun buyar. Terkocok oleh senggolan Yuna yang seakan membanting tubuh saya. Saya terjatuh.
Afwan, Ya!” senyum singkat Yuna menambah rasa keki saya.
Tubuh saya memang kecil. Itu agak halus sedikit. Lebih halusnya langsing, hehe. Tapi jujurnya kurus, :( ! Yap, mungkin di antara akhwats, saya yang paling kurus, ringan sehingga disenggol dikit langsung terjungkir! Tapi gini-gini saya yang paling kece! Hahayy.. pada protes lagi nih, yang laen!
“Baek-baek kek, Yun! Ngertiin ana dong! Jahat, ente!” semprot saya sambil manyun.
Ana itu artinya saya, ente itu kamu. Terkadang logat pondok masih sering terlontar. Sebenarnya dalam percakapan sehari-hari, kami tidak menggunakan logat pondok yang kadang bernada Jawa. Karena kami staying di Kendari, jadi logat kami mengikuti arus sini. Kalo saya tulisnya pake logat Kendari, wahh.. sedikit yang paham! Begini nih contohnya “Eh, Yun! Ambilkan pih tasku di rak! Biarkan mih buku-buku da jatuh!” Nah.. bingung bacanya, kan?
Kurang lebih seperti itu.
“Sepuluh menit lagi!” Deyana menyambungkan.
Deyana itu teman dekatku. Dia sangat lembut selembut kapas, dramatis! Dia juga berkulit putih. Agak manja. Dia juga manis, nggak jauh beda dengan saya. Hehe.. nggak papa dong saya nambah-nambahin status yang baek untuk saya sendiri. Saya kan tokoh paling utama! Terserah saya dong! Piss yo!! :)
Singkatnya, saya sudah menyebut tiga teman saya. Melisa yang baik, Yuna yang tegas dan Deyana yang lembut. Itu ciri khas baiknya. Kalo buruknya.. nggak usah saya sebut ya? Nanti mereka jadi sentimen sama saya. Hoho..
Pekan pertama kuliah memang menegangkan. Ini awal interaksi kami dengan dunia luar pondok. Di pondok pesantren kami hanya bertinggalkan manusia-manusia turunan Hawa. Semuanya perempuan. Tapi itu kebanyakan. Nggak semuanya. Ada juga Pengasuh pondok dan beberapa pengajar. Pekerja pondok pun tidak semuanya perempuan.
Ladang jihad kami sekarang berbeda. Dulu kami menghadapi santri-santri dan ustadz-ustadzah. Sekarang? Ribuan masyarakat yang berposisikan di satu kota. Kendari pastinya. Dan kami selalu berdo’a. Semoga saja kami dan seluruh masyarakat Kota Kendari menjadi manusia terbaik dari hari ke hari. Aamiin Ya Rabb!
“Jangan ngelamun, Ya! Ayo masuk! Dosen Matematika udah dateng tuh!” dan pagi itu semuanya terasa berat. Deyana masih mematung sambil tersenyum menunggu saya. Saya pun tersenyum balik. Langkah kaki harus saya mantapkan!
Pagi yang cerah untuk meraih masa depan yang juga cerah.