Jumat, 17 Februari 2012

Indahnya Memahami


“Kapan nih mau makan? Laper...” keluh Erika sok manja.
            Erika itu salah satu my akhwats. Dia pintar. Paling pintar di antara kami. Kami menyebutnya jenius. Mungkin kalo Erika membaca tulisan saya ini, dia akan kaget. Terlalu digede-gedein! Tapi ya memang begitu faktanya. Erika itu jenius!
            “Bentar! Ami belom dateng” Melisa membela Ami. Pagi itu kami menunggu Ami di koridor kampus. Tidak ada perkuliahan yang aktif. Kami janjian agar bersama-sama membayar SPP untuk semester kedua. Kampus terlihat agak sepi.
            Ami. Cewek yang item manis. Dia sendiri pernah ngaku kalo dia itu manis (hehe... piss Am! Ente pasti keki!). Ami kami kenal pemaaf. Begitulah Ami, berhati malaikat! Namun agak pendiam. Tapi waktu kami masih staying di pondok, Ami termasuk dalam jejeran anak gokil. Entah mengapa sekarang berubah. Sepertinya ia mulai sadar. Diam itu emas! Hoho..
            Berarti saya sudah menyebutkan lima teman saya. Melisa yang baik, Yuna yang tegas, Deyana yang lembut, Erika yang jenius dan Ami yang pemaaf. Masih ada satu lagi. Namanya Nadin. Dialah yang paling mengerti sifat kami. Jika sifat negatif kami terbit, Nadin yang membenamkannya. Nadin itu supel. Membuat dia semakin kami sayang.
            Well! Semua akhwats sudah saya bahas.
            “Ami! Ente dimana?” dengan cekatan, Deyana menelpon Ami. “Ente tau nggak sih! Ente tuh yang paling terindah sekarang!” Deyana mulai kesal. Nyinggung.
            “Apa kata Ami?” Nadin melirik Deyana yang baru saja menekan tombol End Call di layar HP-nya.
            “Masih di Bundaran Baruga. Biasa! Angkotnya ngetem! Alah.. alesan!” Deyana mengutuk. Nadin nyengir saja mendengar alasan Ami. Memang. Alasan angkot ngetem itu paling ampuh kalo udah ditunggu banyak orang dan kita belum sampai di lokasi.
            “Makannya gimana nih, akhwat?”
            “Iya, Ka! Kita nunggu Ami. Kasian juga kalo ditinggalin” Yuna  membela juga.
            “Okeh lah!”
            “Ahh! Ami kelamaan! Mestinya dia liat waktu! Udah sejam dia telat! Ana kesel banget sama orang yang nggak tepat waktu! Itu namanya ia nggak menghargai waktu yang berjalan!” saya mengangkat suara.
            Pasangan mata mereka menatap saya. Serentak melirik jam tangan masing-masing.
            “Ente tega ya? Temen sendiri dihakimi! Seakan ente nggak pernah telat aja!” nada itu menajam. Yuna mengarahkan mata elangnya ke arah saya. Mengesalkan! Maksud dia apa?!
            “Ana nggak suka nunggu! Seterlambat-terlambatnya ana di jalan, ana bakal turun dan naek ojek! Demi teman-teman yang udah lama nunggu!” bela saya nggak kalah tajam.
            “Emang ente tau kalo Ami santai? Dia juga was-was kali! Nggak enak sama kita! Mestinya ente yang ngertiin dia! Rumah dia lebih jauh dari rumah ente!”
            “Whatever lah! Terus ajah belain yang salah!” saya mengakhiri.
            Entah mengapa pagi itu terasa panas. Tak ada yang menengahi kami. Yuna itu berwatak keras. Saya juga mengaku, terkadang ego saya menguasai sisi jiwa saya yang 'lembut'. Di lain rasa, saya berusaha mengatur temperatur itu.
            Hal itu yang saya benci dari Yuna. Ia selalu membantah argumen saya. Saya juga salah, sih. Egoisme saya inilah yang menggetarkan nurani Yuna untuk menegur kebiasaan buruk saya. Namun tetap saja saya kesal!
            “Ente egois, Ya!” kalimat itu membentur dinding hati saya. Perih.
            Saya berdiri. Melirik Yuna kasar. Andai saja samudera dapat saya kuras, ingin skali saya menumpahkan isinya pada Yuna. Saya memadamkan kobaran api yang melilit batin.
            Saya meninggalkan forum penantian Ami.
ṧṧṧ
            Siangnya kami mampir ke warung makan di depan kampus. Fasilitas hotspot yang disediakan oleh pemilik warung membuat saya dapat menghindari percakapan akhwats yang bersutradara Yuna. Ya, Yuna sedang berkisah entah apa. Saya kan malas mendengarnya!
            “Eh, Ka! Ente yang bayar ke Mbaknya ya! Ana males berdesak-desak just for paying!” saya menaruh uang sepuluh ribu di hadapan Erika.
“Oke, kumpulin uang bayarnya sama ana ajah” Erika mengumbar senyum. Ia mulai mengeluarkan dompetnya. Nadin dan Deyana juga melakukan hal yang sama. Beberapa masih menikmati makanan yang tersisa.
            “Nggak usah! Nanti ana yang bayar semuanya!” cetus Yuna.
            “Hoho.. bener nih?”
            “Iya. Kita ada berapa sih?” Yuna mulai menghitung.
            “Tujuh!” Nadin membantu.
            “Ohh.. kirain enam!” senyum sinis Yuna menghantam pandangan saya.
            Hei... ente nggak nganggap ana ya, Yun?
            “Ana bayar sendiri!” saya segera beranjak dari meja panas itu. Atmosfer bumi udah meledak! Panas! Langkah saya tegap tanpa melirik ke belakang.
            Sepertinya Erika terkejut, “Yun! Ente apa-apaan sih?”
            “Biarin! Masa biar bayar ajah dia nyuruh orang. Cewek pemakan ego!”
            Lagi-lagi semuanya terdiam. Membiarkan Yuna menghabiskan rasa kesalnya. Jika dilerai, Yuna akan membantah. Yuna kembali tersenyum sinis penuh arti. Dan Nadin yang membalas senyum kemenangan itu. Menatap kedua temannya yang sama-sama berteguhan keras. Walau sebenarnya saya dan Yuna berteman sangat dekat. Terkadang dalam lingkup pertemanan memang seperti itu.
            “Kita balik yuk!” ajak Nadin mencairkan suasana yang sempat membeku.
ṧṧṧ
            “Slip Pembayaran SPP dikumpul sama Ketua Tingkat ya?”
            “Iya. Foto kopiannya. Kesel banget! Mana Ketua Tingkat kita ogah-ogahan dateng!” gerutu Melisa yang menjawab pertanyaan Nadin.
            “Aya mana?” tanya Yuna tiba-tiba. Ia melirik Deyana.
            “Udah balik. Tadi dia cuma nitip kopian Slip SPP-nya ke Nadin”
            “Cewek egois! Mana Slipnya?”
            Deyana membuka map kuning Nadin. Selembar kertas bercorak hitam itu segera berpindah tangan. “Mau diapain, Yun?”
            “Ditelan! Ya disimpen lah, Yan!”
            Deyana menelan ludahnya keki. Kayaknya Yuna sentimen lagi ke Aya!
            “Woi! Anak semester satu dipanggil Ketua Jurusan! Semuanya ke Auditorium Fakultas!” teriak seseorang. Entah siapa.
            Pemberitahuan yang panjang. Ketua Jurusan membacakan ketentuan di semester dua. Ujung-ujungnya, beliau menagih tugas Take Home yang pernah diumumkan beliau untuk pengambilan Jadwal Kuliah bagi seluruh mahasiswa semester pertama. Untung saja mahasiswa yang hadir membawa tugas itu.
            “Aya gimana nih?”
            “Suruh dateng ajah!”
            “Nggak usah!” senyum Yuna memaku akhwats. Nadin dan Deyana saling menatap bingung. Melisa menyeritkan dahi. Hal yang serupa dilakukan oleh Ami dan Erika.
            “Maksud ente, Yun?”
            Yuna hanya mengangkat alis kanannya. Tanda terompet kemenangan akan berkumandang.
ṧṧṧ
            Sore itu saya mendapat SMS dari teman kelas saya. Sudah kumpul tugas Take Home dari Ketua Jurusan, Ya? Saya segera menelponnya.
            “Kamu belum ngumpulin ya?”
            “Iya nih! Emang kapan terakhir?”
            “Loh? Kamu nggak ke kampus hari ini? Bukannya sebelum final Ketua Jurusan bilang bahwa tugasnya dikumpul tanggal 3 Februari? Hari ini 3 Februari kan?” suara di seberang sana terdengar kaget.
            “Saya...”
            “Telepon Staf Jurusan aja deh!” sarannya mengakhiri.
            Tombol nomor saya tekan. Di sela-sela nada tunggu, saya menatap langit. Berharap Allah menganugrahkan keajaibannya. Beberapa detik kemudian saya terhubung dengan seorang staf. Saya mulai bertanya sopan meminta toleransi. Gara-gara males nunggu nih!
            “Siapa tadi? Shabriyah Akib, ya? Kelas B? Hhmm... oh iya! Sudah ada. Judul makalah anda Kebijakan Fiskal Pem...”
            Entah mengapa tangan saya melemah.
            Saya segera menghubungi Nadin.
            “Tugas Take Home ya, Ya?” suara pelan Nadin terdengar tertawa. Saya terduduk di atas kasur, “Ana serius nih!”
            Nadin melepaskan tawanya. Membuat saya semakin bingung, “Yuna yang ngerjain. Dia bela-bela ke warnet nge-download artikel buat tugas ente!”
            Saya pun membisu.
            Kini saya mengerti. Senyum tajamnya, kalimat sinisnya dan sindiran pahitnya. Yuna hanya ingin menghentikan ego saya yang selalu meninggi. Belum lagi saya selalu membantah peringatan Yuna yang sebenarnya baik untuk mengembalikan sisi sifat lembut saya. Untuk itu Yuna sengaja melakukan ini. Memang saya yang terlalu negative thingking ke Yuna. Tenks, Yun! Ente ngingetin ana dengan cara ini! Ana emang egois, maaf ya?
ṧṧṧ     
Teman yang baik akan menegur kebiasaan temannya jika kebiasaan itu buruk. Walau itu akan terasa sakit. Nada biacara yang keras akan membuat lawan bicara mengeras pula. Tak akan merendah sampai keduanya lelah. Apalagi jika keduanya berwatak keras. Untuk itu perlunya sikap tulus yang akan menurunkan suhu perwatakan tersebut. Meski harus dimulai dengan berat. Kita harus bisa saling memahami.
            Karena saling mengingatkan itu... indah.
ṧṧṧ

14 komentar:

  1. benar sekali mbak akib .
    aku juga sering banget di ingetin sm temen aku . jangan ini . jangan itu .
    gak boleh ini gak boleh itu .

    tapi aku tau mereka care sm kita . :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hohoho,, sipp2,,
      bete,, jangan panggil akib dong Git,, hehehe,, Aya aja,, hoho..^^

      Hapus
  2. kak Yuna itu mirip kek temen gue kak. sindirannya sepedes sambel pecel lele mang didi. tapi kalo di telaah lagi, memamg betul yang di ucapkan teman kita,

    BalasHapus
  3. kadang ada keselnya juga sih kak sama temen yang kayak gitu, tapi bener kata kakak kalo kita memahaminya sebenernya itu temen kita peduli sama kita :) indahnya memahami :D

    oh ya kak, blognya udah aku follow kak, kalo bagi followbacknya boleh kan? :)

    BalasHapus
  4. temen kamu baik juga ternyata :)
    jangan selalu negatif thinking :)
    yg penting kamu harus bisa saling memahami karakter masing2 temenmu, tapi ya emg kadang kesel kalo disindir2.. tapi sabar aja, toh temenmu malahan yg bantu kamu :)

    BalasHapus
  5. Tuh ente udah di bantu. Jangan egois lagi yaa

    BalasHapus
  6. waw ukhti aya bener banget lah, hehehe eh emang kebiasaan ukhti / aktivis dakwah gitu ya. soalnya temen ku yang ikhwan juga gitu. aku sering kan melawak gak jelas, e dimarahin ama dia

    BalasHapus
  7. apalagi kalo saling berbagi mbak, pasti jadi lebih indah #ngomogapague ??

    BalasHapus
  8. sama sama ngerti aja sih sebenernya . sama sama terima konsekuensi , karna temenan itu gak pernah gak ada miscommunication.
    Ambil sisi positif nya aja :)

    BalasHapus
  9. Ceritanya dibikin kayak cerpen ya..
    Bagus..

    Yuna persis kayak temenku..
    Dia baik dengan cara yang berbeda :D

    BalasHapus
  10. nah tuh, saling mengingatkan aja,., memang terkadang susah untuk menerima pendapat orang lain sih

    BalasHapus
  11. Wahhh, gue selalu semangat lhoh kalau baca cerita kamu ini, cerita nya menarik menarik !!

    BalasHapus
  12. sesungguhnya orang yang manis itu ga pernah nyebut dirinya manis. coba liat gue keren kan? *nahlo

    selain tempat curhat dan berkuluh kesah, fungsi temen juga seperti itu, saling membatu :D

    BalasHapus
  13. kalo di kumpulan gua, malah gua yg suka komentar pedes bin tajam :D

    BalasHapus

Di bawah entri laman