Kata lainnya sih, mengingat masa
muda! Alah.. sok tua! Bukannya
begitu, sekarang kan kami sudah duduk di universitas. Dulu kami sering
ngimpi-ngimpi, gimana ya rasanya kuliah?
Well! Saya kembali teringat tentang hal
konyol yang saya dan beberapa teman saya lakukan. Yang aneh bukan pada kami.
Tapi pembicaraan kami memang sedikit menyeleweng kala itu. Saya masuk ke poin
inti saja.
Saat
itu saya dan beberapa teman memperhatikan ‘murid-murid sekolah’ kami yang
sedang istirahat. Tepat pukul 08.30, istirahat pertama dimulai.
“Ussi
itu cantik ya?! Manis!” komentar Erika tiba-tiba.
Serentak
kami semua melirik ke arah tersangka. Ussi sedang merapikan buku-bukunya. Walau
ia diam-diam saja, namun seakan ia tersenyum. Manis bukan?
“Iya.
Manis!” ucap saya sambil meng-kode Erika. “Kalo kata orang Sunda, Ussi itu cameuh. Rahang dagunya mengarah kedepan.
Jadi kalo nyengir, barisan gigi bawah lebih maju dari barisan gigi depan” saya
mempraktekkan sambil mengira-ngira.
“Bener,
Ya! Ente keliatan manis!” ledek Yuna.
“Masa?”
senyumku tersipu malu. Yuna ngejek nih! “Coba
ente, Yun!”
Yuna
menegakkan badannya. Posisi wajah ia atur setegap mungkin. Ia pun mulai
melakukan hal serupa. Men-cameuh-cameuh-kan
diri. Hehe..
“Hahayy..
manis kok, Yun! Kayak Ussi!” tawa saya lepas.
Serentak
akhwats menirukan gaya konyol saya dan Yuna. “Ana keliatan manis nggak?”
Gubrakk! Apa-apaan sih antunna?
ṧṧṧ
Sebenarnya
kami menirukan gaya Ussi bukan untuk terlihat manis. Manis itu kan relatif. Hoho.. menghibur diri!
Kebiasaan
ini menjadi bumerang untuk menembak tawa. Tawa kami akan membanjir begitu saja
ketika menirukan gaya Ussi. Sampe terkadang Ussi kesal dan memalingkan
wajahnya. Tidak. Ia tidak marah. Ia malu! Hoho..
Kami
sih bersyukur dengan tampang yang seperti ini. Untuk apa dibuat-buat agar
terlihat manis? Apalagi kalo mengatur raut wajah setiap waktu, seakan kamera
ada dimana-mana. Allah itu Maha Adil. Mau bukti?
Semanis-manisnya
Ussi, ada juga yang menetralisir kemanisannya. Hehe.. ngerti nggak? Saya
ceritakan saja.
Saat
itu bel tanda istirahat kedua berbunyi. Kompak sekelas bernapas lega. Suntuk
juga belajar terus. Untuk itu istirahat dirancang dua kali.
“Tadi
PR-nya halaman berapa?” tanya Ussi sambil memasukkan buku tulisnya.
“Yang
logaritma bukan sih?” Yuna malah tanya balik.
Saya
menimpali. “Judul yang terakhir itu kan?”
“Kalo
nggak salah latihan 7” sang jenius Erika menjawab semua pertanyaan kami yang
mengambang.
“Yang
mana sih?” wajah bingung Ussi membuat kami menatap heran.
Akhirnya
Nadin angkat suara. “Yang itu loh, Si! Barusan Ustadzah Farhanah jelasin.
Perasaan cuma satu judul deh hari ini”
Ussi
masih saja berpikir. “Enggg”
“Masih
belum nyambung ya, Si?”
“Bukan
gitu! Kok ana bingung ya?”
“Inget-inget
lagi deh, Si! Ustadzah Farhanah kan baru aja keluar kelas”
“Nih!
Halaman 55. Logaritma. Latihan 7” Yuna langsung mengambil tindakan. Bukti yang
ia tunjukkan cukup untuk merubah raut wajah Ussi yang dari tadi terlihat
bingung.
Seketika
raut bingung itu berubah “Antunna ngebahas pelajaran Matematika ya? Maksud ana
tuh pelajaran Fisika!”
“WHAT? BILANG DONG DARI TADI!”sembur
sekelas sambil mijit jari-jari.
Setiap
manusia memiliki kekurangan dan juga kelebihan. Ussi memang agak kurang connect. Lama baru bisa nyambung. Sampe
ni mulut berbusa baru ia ngerti alur pembicaraan. Sampe-sampe kami sering
ngomong “Allah memang Maha Adil!” hehe..
Tapi
nggak segitu juga. Ussi malah sangat asyik diajak ngobrol. Sebenarnya sih
nyambung-nyambung aja, tapi karena di antara kami semua, Ussi-lah yang paling
sering begitu. Walau kami juga sering nggak connect.
Eits! Tunggu dulu. Gini-gini Ussi hebat
lho! Inilah letak keadilan Allah! Ussi itu jago Puisi! Dia sering memerani
puisi kolosal yang diadakan pondok. Bahkan Ussi pernah menjadi perwakilan
Sulawesi Tenggara membaca puisi di Kalimantan dalam sebuah acara Nasional. Saya
lupa namanya apa.
Kita
memang harus banyak bersyukur. Bahkan ada lagi kejadian tragis bertemakan
syukur. Ini yang teman saya lakukan.
“Ana
kesel sama bintil item di hidung ana!” keluh Dijiran.
Kami
menoleh ke arahnya. Seketika kami menahan tawa. Emang lucu sih. Tahi lalat
segede biji pepaya terbaring nyenyak di ujung hidungnya.
“Bagus
kalee. Itu namanya khas!” puji saya membela.
“Ana
risih nih, Ya! Jadi pengen dioperasi! Planing
ana sih bulan depan”
“Jangan,
Dij! Itu nikmat yang Allah kasih ke ente. Selama nggak merusak organ lainnya,
itu jangan dibuang! Ente nggak tahu kan kalo tu tahi lalat ada manfaatnya?”
kalimat bijak Nadin sedikit memperbaiki jiwa Dijiran yang rapuh.
“Tapi
ini mengganggu, Na! Ana jadi gimana gitu!”
“Udah!
Syukuri ajah! Segala hal yang Allah ciptakan pasti ada manfaatnya! Ngapain juga
diciptain tapi nggak bermanfaat?” logika saya bermain.
Dijiran
tersenyum kaku. Mungkin untuk menetralisir hatinya.
ṧṧṧ
“WOI!
Ada kabar panas! Idung Dijiran mulus!”
Sebenarnya
sih saya tertawa geli dengan kabar ini. Entah siapa yang berteriak tadi,
suaranya menggelegar sampai seisi kelas penasaran. Saya memang berbeda kelas
dengan Dijiran. Jadi respon ‘pengen liat’-nya semakin menggebu-gebu. Hoho..
“Eh..
serius nggak sih kalo Dijiran itu..”
“Bener,
Ya! Ente nggak ngeliat sih! Ana tu sekamar sama dia. Seakan bulan jatuh! Cling! Tadi pagi sekamar langsung kaget
dengan perubahan yang terjadi! Hahayy.. lebay ya?” Erika bersemangat
menceritakan gemintang pagi ke saya.
“Tadi
pagi? Berarti dia operasi ke dokternya tadi malam dong?”
“Nggak,
Ya! Dijiran nggak ke dokter. Ia lah yang berperan bak dokter tadi malam”
“Apa?
Dia yang motong sendiri?”
“Hebat
kan? Pake silet! Haha..”
Saya
tersenyum pahit. Serem banget sih tu
tragedi!
ṧṧṧ
Sepekan
sudah saya tidak bertemu Dijiran. Operasi yang ia lakukan sendirian itu memang
bukti kebulatan tekadnya. Mungki ia sudah tak tahan. Tapi kan sebaiknya hal itu
jangan dilakukan.
“Assalamu’alaikum,
Ya!”
Saya
merasa seseorang menyalami saya. Setelah menjawab salamnya, saya berbalik.
“Dijiran? Loh hidung ente kok?” saya benar-benar tak menyangka. “Bukannya udah
ente silet? Kemaren kan hil..”
“Kayaknya
ente dan Nadin bener. Ana seharusnya bersyukur punya sesuatu dari Allah yang
tidak dimiliki orang lain” ia menelan ludahnya. “Tahi lalatnya balik lagi deh!”
Jegeerrrr!
Saya
hanya bisa tersenyum membenarkan.
ṧṧṧ
Insiden
yang sedikit direkayasa ini saya tulis sama sekali tidak ada maksud apa-apa kecuali untuk mengingatkan
kita kembali bahwa kita memang harus bersyukur dengan apa yang sudah Allah
beri. Khususnya untuk diri kita masing-masing.
Allah
itu adil! Segala hal di muka bumi ini memiliki manfaat. Makanya kita harus
mensyukuri apapun yang sudah Dia ciptakan. Setuju?
ṧṧṧ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Di bawah entri laman