Senin, 27 Februari 2012

Mengingat Masa Lalu (Bersyukur)


Kata lainnya sih, mengingat masa muda! Alah.. sok tua! Bukannya begitu, sekarang kan kami sudah duduk di universitas. Dulu kami sering ngimpi-ngimpi, gimana ya rasanya kuliah?
            Well! Saya kembali teringat tentang hal konyol yang saya dan beberapa teman saya lakukan. Yang aneh bukan pada kami. Tapi pembicaraan kami memang sedikit menyeleweng kala itu. Saya masuk ke poin inti saja.
            Saat itu saya dan beberapa teman memperhatikan ‘murid-murid sekolah’ kami yang sedang istirahat. Tepat pukul 08.30, istirahat pertama dimulai.
            “Ussi itu cantik ya?! Manis!” komentar Erika tiba-tiba.
            Serentak kami semua melirik ke arah tersangka. Ussi sedang merapikan buku-bukunya. Walau ia diam-diam saja, namun seakan ia tersenyum. Manis bukan?
            “Iya. Manis!” ucap saya sambil meng-kode Erika. “Kalo kata orang Sunda, Ussi itu cameuh. Rahang dagunya mengarah kedepan. Jadi kalo nyengir, barisan gigi bawah lebih maju dari barisan gigi depan” saya mempraktekkan sambil mengira-ngira.
            “Bener, Ya! Ente keliatan manis!” ledek Yuna.
            “Masa?” senyumku tersipu malu. Yuna ngejek nih! “Coba ente, Yun!”
            Yuna menegakkan badannya. Posisi wajah ia atur setegap mungkin. Ia pun mulai melakukan hal serupa. Men-cameuh-cameuh-kan diri. Hehe..
            “Hahayy.. manis kok, Yun! Kayak Ussi!” tawa saya lepas.
            Serentak akhwats menirukan gaya konyol saya dan Yuna. “Ana keliatan manis nggak?”
            Gubrakk! Apa-apaan sih antunna?
ṧṧṧ
            Sebenarnya kami menirukan gaya Ussi bukan untuk terlihat manis. Manis itu kan relatif. Hoho.. menghibur diri!
            Kebiasaan ini menjadi bumerang untuk menembak tawa. Tawa kami akan membanjir begitu saja ketika menirukan gaya Ussi. Sampe terkadang Ussi kesal dan memalingkan wajahnya. Tidak. Ia tidak marah. Ia malu! Hoho..
            Kami sih bersyukur dengan tampang yang seperti ini. Untuk apa dibuat-buat agar terlihat manis? Apalagi kalo mengatur raut wajah setiap waktu, seakan kamera ada dimana-mana. Allah itu Maha Adil. Mau bukti?
            Semanis-manisnya Ussi, ada juga yang menetralisir kemanisannya. Hehe.. ngerti nggak? Saya ceritakan saja.
            Saat itu bel tanda istirahat kedua berbunyi. Kompak sekelas bernapas lega. Suntuk juga belajar terus. Untuk itu istirahat dirancang dua kali.
            “Tadi PR-nya halaman berapa?” tanya Ussi sambil memasukkan buku tulisnya.
            “Yang logaritma bukan sih?” Yuna malah tanya balik.
            Saya menimpali. “Judul yang terakhir itu kan?”
            “Kalo nggak salah latihan 7” sang jenius Erika menjawab semua pertanyaan kami yang mengambang.
            “Yang mana sih?” wajah bingung Ussi membuat kami menatap heran.
            Akhirnya Nadin angkat suara. “Yang itu loh, Si! Barusan Ustadzah Farhanah jelasin. Perasaan cuma satu judul deh hari ini”
            Ussi masih saja berpikir. “Enggg”
            “Masih belum nyambung ya, Si?”
            “Bukan gitu! Kok ana bingung ya?”
            “Inget-inget lagi deh, Si! Ustadzah Farhanah kan baru aja keluar kelas”
            “Nih! Halaman 55. Logaritma. Latihan 7” Yuna langsung mengambil tindakan. Bukti yang ia tunjukkan cukup untuk merubah raut wajah Ussi yang dari tadi terlihat bingung.
            Seketika raut bingung itu berubah “Antunna ngebahas pelajaran Matematika ya? Maksud ana tuh pelajaran Fisika!”
            “WHAT? BILANG DONG DARI TADI!”sembur sekelas sambil mijit jari-jari.
            Setiap manusia memiliki kekurangan dan juga kelebihan. Ussi memang agak kurang connect. Lama baru bisa nyambung. Sampe ni mulut berbusa baru ia ngerti alur pembicaraan. Sampe-sampe kami sering ngomong “Allah memang Maha Adil!” hehe..
            Tapi nggak segitu juga. Ussi malah sangat asyik diajak ngobrol. Sebenarnya sih nyambung-nyambung aja, tapi karena di antara kami semua, Ussi-lah yang paling sering begitu. Walau kami juga sering nggak connect.
            Eits! Tunggu dulu. Gini-gini Ussi hebat lho! Inilah letak keadilan Allah! Ussi itu jago Puisi! Dia sering memerani puisi kolosal yang diadakan pondok. Bahkan Ussi pernah menjadi perwakilan Sulawesi Tenggara membaca puisi di Kalimantan dalam sebuah acara Nasional. Saya lupa namanya apa.
            Kita memang harus banyak bersyukur. Bahkan ada lagi kejadian tragis bertemakan syukur. Ini yang teman saya lakukan.
            “Ana kesel sama bintil item di hidung ana!” keluh Dijiran.
            Kami menoleh ke arahnya. Seketika kami menahan tawa. Emang lucu sih. Tahi lalat segede biji pepaya terbaring nyenyak di ujung hidungnya.
            “Bagus kalee. Itu namanya khas!” puji saya membela.
            “Ana risih nih, Ya! Jadi pengen dioperasi! Planing ana sih bulan depan”
            “Jangan, Dij! Itu nikmat yang Allah kasih ke ente. Selama nggak merusak organ lainnya, itu jangan dibuang! Ente nggak tahu kan kalo tu tahi lalat ada manfaatnya?” kalimat bijak Nadin sedikit memperbaiki jiwa Dijiran yang rapuh.
            “Tapi ini mengganggu, Na! Ana jadi gimana gitu!”
            “Udah! Syukuri ajah! Segala hal yang Allah ciptakan pasti ada manfaatnya! Ngapain juga diciptain tapi nggak bermanfaat?” logika saya bermain.
            Dijiran tersenyum kaku. Mungkin untuk menetralisir hatinya.
ṧṧṧ
            “WOI! Ada kabar panas! Idung Dijiran mulus!”
            Sebenarnya sih saya tertawa geli dengan kabar ini. Entah siapa yang berteriak tadi, suaranya menggelegar sampai seisi kelas penasaran. Saya memang berbeda kelas dengan Dijiran. Jadi respon ‘pengen liat’-nya semakin menggebu-gebu. Hoho..
            “Eh.. serius nggak sih kalo Dijiran itu..”
            “Bener, Ya! Ente nggak ngeliat sih! Ana tu sekamar sama dia. Seakan bulan jatuh! Cling! Tadi pagi sekamar langsung kaget dengan perubahan yang terjadi! Hahayy.. lebay ya?” Erika bersemangat menceritakan gemintang pagi ke saya.
            “Tadi pagi? Berarti dia operasi ke dokternya tadi malam dong?”
            “Nggak, Ya! Dijiran nggak ke dokter. Ia lah yang berperan bak dokter tadi malam”
            “Apa? Dia yang motong sendiri?”
            “Hebat kan? Pake silet! Haha..”
            Saya tersenyum pahit. Serem banget sih tu tragedi!
ṧṧṧ
            Sepekan sudah saya tidak bertemu Dijiran. Operasi yang ia lakukan sendirian itu memang bukti kebulatan tekadnya. Mungki ia sudah tak tahan. Tapi kan sebaiknya hal itu jangan dilakukan.
            “Assalamu’alaikum, Ya!”
            Saya merasa seseorang menyalami saya. Setelah menjawab salamnya, saya berbalik. “Dijiran? Loh hidung ente kok?” saya benar-benar tak menyangka. “Bukannya udah ente silet? Kemaren kan hil..”
            “Kayaknya ente dan Nadin bener. Ana seharusnya bersyukur punya sesuatu dari Allah yang tidak dimiliki orang lain” ia menelan ludahnya. “Tahi lalatnya balik lagi deh!”
            Jegeerrrr!
            Saya hanya bisa tersenyum membenarkan.
ṧṧṧ
            Insiden yang sedikit direkayasa ini saya tulis sama sekali tidak ada maksud apa-apa kecuali untuk mengingatkan kita kembali bahwa kita memang harus bersyukur dengan apa yang sudah Allah beri. Khususnya untuk diri kita masing-masing.
            Allah itu adil! Segala hal di muka bumi ini memiliki manfaat. Makanya kita harus mensyukuri apapun yang sudah Dia ciptakan. Setuju?
ṧṧṧ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Di bawah entri laman