Sabtu, 18 Februari 2012

Peran Seorang Teman


Yuna menarik lengan saya, “Liat ini, Ya! Cocok untuk ente!”
Saya menoleh ke arah layar netbook-nya. Yuna masih mengetik beberapa kata lalu menekan tombol enter. Saya melihat judul yang sudah sangat familiar sekali di telinga saya.
“Ente tuh udah masuk 50 besar! Dan kalo memang yang diterima hanya 25, ente nggak pantes untuk sedih!” kalimat itu ditekannya tegas.
Well! Saya akui, terkadang saya mudah putus asa. Harapan masuk 25 dalam Sayembara Novel Republika sudah mengalir bersama darah dalam tubuh saya. Tapi ternyata, Sang Penentu Takdir berencana lain. Saya terhenti di 50 besar finalis calon novelis.
“Ana ngerasa nggak idup, Yun!”
“Buka mata ente, Ya! Masih banyak penerbit-penerbit buku yang menghambur ribuan publikasi dalam setahun. Toh kalo nggak diterima di Republika, ente bisa bawa ke Gramedia kek, FLP kek, Gema Insani atau apalah itu”
“Tulisan ana nggak layak publik”
Ya Allah, Ya! Ente tuh udah ngalahin 400 peserta novel di Republika! Seleksi ke 100 ente masuk, kan? Seleksi ke 50 ente juga masuk, kan? Allah punya maksud lain kali, Ya! Makanya ente didiemin Allah pas mau naek ke 25 besar!”
“Ana takut, Yun!”
“Kirim tu tulisan ke penerbit-penerbit yang ente mau. Tunggu reaksi mereka! Kalo ada yang ngasih lampu ijo, langsung proses!”
Saya masih terdiam. Bingung dengan saran Yuna yang brilian. Saya terlanjur down sehingga takut untuk memulai.
“Ente takut, Ya?” Nadin curiga. “Gimana mau melangkah ke jalan kalo merangkak ajah ente takut. Apalagi mau lari!”
“Ana tau ente ngerasa down banget. Sebulan lebih ente nulis tu cerita biar jadi novel. Ana juga tau kebahagiaan ente pas keterima di 100 besar. Dan ana sangat tau rasa sakit atas harapan yang terhenti” Erika sang jenius menambahkan.
Saya masih terdiam. Merasa dunia bergerak cepat sekali.
“Ada saatnya kita memulai dan ada pula saatnya kita berhenti. Yang menyedihkan jika kita berhenti tanpa memperjuangkan apa-apa! Itu yang ana ambil dari ceritanya Yennie Hardiwidjaja” Ami mulai nimbrung.
“Tapi ana kan udah memperjuangkan banyak hal!”
“Cuma segitu?” bantah Ami. Perih.
Saya membisu. Mungkin menurut saya ini sudah ekstra. Tapi pandangan Allah kan lain!
Ami menepuk pundak saya, bijak. “Dalam hidup memang banyak sekali ujiannya. Kadang sulit, terhambat bahkan menyakitkan. Pilihannya cuma dua, SABAR atau GAGAL!”
Saya tertunduk pelan. Dalam hati, saya bersyukur. Teman-teman di sekitar saya selalu mendukung dan memotivasi. Jika saya salah, mereka mengingatkan. Dan mulai saat itu, saya bertekad. I’ll begin my great fight today!
ṧṧṧ
            “Coba kirim ke Gramedia aja, Ya! Ana punya link ke sana” Nadin menyarankan.
            Saya tersenyum, “Makasih ya, Na! Boleh ana minta nomornya?”
            Nadin segera menelpon ibunya. Beberapa menit kemudian, nomor itu masuk ke contact person saya. “Tenks, yo!”
            “Coba telepon dulu aja. Biar prosesnya rada enakan. Hoho..”
            “Iya, ana calling sekarang kali, ya?”
            Nadin mengangguk meyakinkan.
            Sebulan pun berlalu. Diawal jalan, pihak Gramedia bersedia dan menyuruh saya mengirimkannya lewat email. Sudah ada balasan untuk menunggu. Namun sampai saat ini konfirmasi itu seakan terhenti. Apa mbak itu lupa, ya? Saya ber-husnudzon.
            “Mungkin banyak novel yang harus dipublikasikan tahun ini. Peserta Sayembara Republika kemarin kan banyak! Nulis novel itu nggak mudah. Pasti mereka juga mengirimkan karya mereka ke penerbit. Sepertinya yang kirim ke Gramedia banyak” Nadin kembali menyemangati.
            “Iya! Ana juga mikirnya begitu. Tenks, ya! Udah bantu”
ṧṧṧ
            “Di samping nungguin Gramedia, ente cobain ini deh, Ya!” seru Melisa tiba-tiba.
            “Apaan, Mel?”
            “Lomba cerpen di FLP. Ana lomba foto juga, buat blog dan emm.. macem-macem deh!” pandangannya masih tertuju ke arah layar netbook-nya. “Yang cerpen ajah! Kan lumayan kalo dipublikasiin!”
            “Bagus tuh, Mel!” balas Yuna. “Ente coba ajah, Ya! Tentang apa gitu, kita-kita juga boleh! Hehe..” Yuna terkekeh pelan. Ia kembali menyusun tugasnya di halaman kampus.
            “Temanya apa, Mel?” antusias saya meningkat.
            “Baca sendiri gih! Ana nggak ngerti! Hoho..”
            Saya pun mengambil alih netbook-nya. Sejenak saya terdiam. Apa lolos, ya? Kalo nggak diterima lagi, gimana?
            “Kok bengong, Ya?”
            “Eh.. nggak, Mel! Cuma sekedar..”
            “Ente takut, ya?” tuduh Yuna.
            Saya tersenyum kaku. Mungkin mimik saya terlalu fulgar. Ahh.. saya jadi nggak enak sama mereka. “Nggak kok, Yun!”
            “Deadline-nya terakhir besok! Ente siap-siap ya!” Melisa menutup pembicaraan kami siang itu. Kampus pun mulai terlihat sepi.
ṧṧṧ
            FLP itu Forum Lingkar Pena, ya? Tanyaku dalam hati. Saya terpikir untuk mengajukan novel saya yang tidak kunjung dikonfirmasi balik dari Gramedia. Saya tetap berpikir bahwa pihak sana masih sibuk. Itu pasti!
            Kenapa nggak dicoba?
            Namun rasa tetap menunggu terlintas di benak saya. Sepertinya jawaban dari istikharah tadi malam. Saya mulai menulis. Lomba cerpen yang ditawarkan FLP bisa menjadi motivasi untuk proses sabar ini.
            One message recivied.
     Ya! Udah dikirim blom? Itu lho, cerpen ente ke FLP!
            Baru saja saya berniat mengetik jawaban, SMS dari Nadin muncul.
     Gimana ceritanya, Ya? Tentang apa? Gud lak, yo!
            Saya tersenyum. Kedua balasan pun saya mulai ketik. Namun tiba-tiba saja Erika mengirim SMS. Wahh.. mereka aktif!
            Belum sempat saya ketik. Deyana juga mengirim. Waduh! Kapan mo dibalas nih! Beberapa detik kemudian, Ami melakukan hal serupa. Melisa juga nggak kalah. Woi.. ni sengaja apa gimana?
            Saya hanya tersenyum geli. Mereka begitu perhatian terhadap rasa down saya. Hal inilah yang menjadi motivasi saya untuk selalu keep fighting! Walau orang tua juga menjadi motivator utama saya.
            Hari esok, akan saya sambut dengan senyuman.
ṧṧṧ
            “Udah dikirim, Ya?” Yuna menanyakan hal yang sama dengan SMS-nya. Saya mengangguk tersenyum.
            “Judulnya apa, Ya?” sela Melisa dan Deyana bersamaan.
            “Sad ending apa happy?” sambung Erika nggak kalah.
            Saya hanya tersenyum tenang. Sok bijaksana! Hehe.. Sambil memasuki ruangan Matematika, saya mengalihkan pembicaraan, “Eh.. Super Junior mau manggung di Indonesia lho?”
            Serempak semuanya berteriak histeris.
            Sebenarnya saya merasa bersalah. Mereka sudah mendukung penuh dan saya malah tidak bertindak. Bukannya saya tidak menghargai dan tidak pula meremehkan motivasi mereka. Saya masih memikirkan cara menyampaikan hal ini ke mereka.
            Afwan akhwat! Semalem ana ketiduran!
ṧṧṧ
            Ternyata peran seorang teman yang baik merupakan elemen penting bagi seseorang dalam membangun pondasi percaya dirinya. Untuk itu, pilihlah teman yang baik! Atau kitalah yang menjadi teman baik untuk teman kita.
            Nggak ada salahnya kan, memperbaiki diri?
ṧṧṧ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Di bawah entri laman