Yuna menarik
lengan saya, “Liat ini, Ya! Cocok untuk ente!”
Saya menoleh ke
arah layar netbook-nya. Yuna masih
mengetik beberapa kata lalu menekan tombol enter.
Saya melihat judul yang sudah sangat familiar sekali di telinga saya.
“Ente tuh udah
masuk 50 besar! Dan kalo memang yang diterima hanya 25, ente nggak pantes untuk
sedih!” kalimat itu ditekannya tegas.
Well! Saya akui, terkadang saya mudah
putus asa. Harapan masuk 25 dalam Sayembara Novel Republika sudah mengalir
bersama darah dalam tubuh saya. Tapi ternyata, Sang Penentu Takdir berencana
lain. Saya terhenti di 50 besar finalis calon novelis.
“Ana ngerasa
nggak idup, Yun!”
“Buka mata ente,
Ya! Masih banyak penerbit-penerbit buku yang menghambur ribuan publikasi dalam
setahun. Toh kalo nggak diterima di
Republika, ente bisa bawa ke Gramedia kek,
FLP kek, Gema Insani atau apalah itu”
“Tulisan ana
nggak layak publik”
“Ya Allah, Ya! Ente tuh udah ngalahin 400
peserta novel di Republika! Seleksi ke 100 ente masuk, kan? Seleksi ke 50 ente
juga masuk, kan? Allah punya maksud lain kali, Ya! Makanya ente didiemin Allah
pas mau naek ke 25 besar!”
“Ana takut,
Yun!”
“Kirim tu
tulisan ke penerbit-penerbit yang ente mau. Tunggu reaksi mereka! Kalo ada yang
ngasih lampu ijo, langsung proses!”
Saya masih
terdiam. Bingung dengan saran Yuna yang brilian. Saya terlanjur down sehingga takut untuk memulai.
“Ente takut, Ya?”
Nadin curiga. “Gimana mau melangkah ke jalan kalo merangkak ajah ente takut.
Apalagi mau lari!”
“Ana tau ente
ngerasa down banget. Sebulan lebih
ente nulis tu cerita biar jadi novel. Ana juga tau kebahagiaan ente pas
keterima di 100 besar. Dan ana sangat tau rasa sakit atas harapan yang
terhenti” Erika sang jenius menambahkan.
Saya masih
terdiam. Merasa dunia bergerak cepat sekali.
“Ada saatnya
kita memulai dan ada pula saatnya kita berhenti. Yang menyedihkan jika kita
berhenti tanpa memperjuangkan apa-apa! Itu yang ana ambil dari ceritanya Yennie Hardiwidjaja” Ami mulai nimbrung.
“Tapi ana kan
udah memperjuangkan banyak hal!”
“Cuma segitu?”
bantah Ami. Perih.
Saya membisu.
Mungkin menurut saya ini sudah ekstra. Tapi
pandangan Allah kan lain!
Ami menepuk
pundak saya, bijak. “Dalam hidup memang banyak sekali ujiannya. Kadang sulit,
terhambat bahkan menyakitkan. Pilihannya cuma dua, SABAR atau GAGAL!”
Saya tertunduk
pelan. Dalam hati, saya bersyukur. Teman-teman di sekitar saya selalu mendukung
dan memotivasi. Jika saya salah, mereka mengingatkan. Dan mulai saat itu, saya
bertekad. I’ll begin my great fight
today!
ṧṧṧ
“Coba
kirim ke Gramedia aja, Ya! Ana punya link
ke sana” Nadin menyarankan.
Saya
tersenyum, “Makasih ya, Na! Boleh ana minta nomornya?”
Nadin
segera menelpon ibunya. Beberapa menit kemudian, nomor itu masuk ke contact person saya. “Tenks, yo!”
“Coba
telepon dulu aja. Biar prosesnya rada enakan. Hoho..”
“Iya,
ana calling sekarang kali, ya?”
Nadin
mengangguk meyakinkan.
Sebulan
pun berlalu. Diawal jalan, pihak Gramedia bersedia dan menyuruh saya
mengirimkannya lewat email. Sudah ada
balasan untuk menunggu. Namun sampai saat ini konfirmasi itu seakan terhenti. Apa mbak itu lupa, ya? Saya ber-husnudzon.
“Mungkin
banyak novel yang harus dipublikasikan tahun ini. Peserta Sayembara Republika
kemarin kan banyak! Nulis novel itu nggak mudah. Pasti mereka juga mengirimkan
karya mereka ke penerbit. Sepertinya yang kirim ke Gramedia banyak” Nadin
kembali menyemangati.
“Iya!
Ana juga mikirnya begitu. Tenks, ya!
Udah bantu”
ṧṧṧ
“Di
samping nungguin Gramedia, ente cobain ini deh, Ya!” seru Melisa tiba-tiba.
“Apaan,
Mel?”
“Lomba
cerpen di FLP. Ana lomba foto juga, buat blog dan emm.. macem-macem deh!” pandangannya masih tertuju ke arah layar netbook-nya. “Yang cerpen ajah! Kan
lumayan kalo dipublikasiin!”
“Bagus
tuh, Mel!” balas Yuna. “Ente coba ajah, Ya! Tentang apa gitu, kita-kita juga
boleh! Hehe..” Yuna terkekeh pelan. Ia kembali menyusun tugasnya di halaman
kampus.
“Temanya
apa, Mel?” antusias saya meningkat.
“Baca
sendiri gih! Ana nggak ngerti! Hoho..”
Saya
pun mengambil alih netbook-nya.
Sejenak saya terdiam. Apa lolos, ya? Kalo
nggak diterima lagi, gimana?
“Kok
bengong, Ya?”
“Eh..
nggak, Mel! Cuma sekedar..”
“Ente
takut, ya?” tuduh Yuna.
Saya
tersenyum kaku. Mungkin mimik saya terlalu fulgar. Ahh.. saya jadi nggak enak sama mereka. “Nggak kok, Yun!”
“Deadline-nya terakhir besok! Ente
siap-siap ya!” Melisa menutup pembicaraan kami siang itu. Kampus pun mulai
terlihat sepi.
ṧṧṧ
FLP itu Forum Lingkar Pena, ya? Tanyaku
dalam hati. Saya terpikir untuk mengajukan novel saya yang tidak kunjung
dikonfirmasi balik dari Gramedia. Saya tetap berpikir bahwa pihak sana masih
sibuk. Itu pasti!
Kenapa nggak dicoba?
Namun
rasa tetap menunggu terlintas di benak saya. Sepertinya jawaban dari istikharah tadi malam. Saya mulai
menulis. Lomba cerpen yang ditawarkan FLP bisa menjadi motivasi untuk proses
sabar ini.
One message recivied.
Ya! Udah dikirim blom? Itu lho, cerpen ente
ke FLP!
Baru
saja saya berniat mengetik jawaban, SMS dari Nadin muncul.
Gimana ceritanya, Ya? Tentang apa? Gud lak,
yo!
Saya
tersenyum. Kedua balasan pun saya mulai ketik. Namun tiba-tiba saja Erika
mengirim SMS. Wahh.. mereka aktif!
Belum
sempat saya ketik. Deyana juga mengirim. Waduh!
Kapan mo dibalas nih! Beberapa detik kemudian, Ami melakukan hal serupa. Melisa
juga nggak kalah. Woi.. ni sengaja apa
gimana?
Saya
hanya tersenyum geli. Mereka begitu perhatian terhadap rasa down saya. Hal inilah yang menjadi
motivasi saya untuk selalu keep fighting!
Walau orang tua juga menjadi motivator utama saya.
Hari
esok, akan saya sambut dengan senyuman.
ṧṧṧ
“Udah
dikirim, Ya?” Yuna menanyakan hal yang sama dengan SMS-nya. Saya mengangguk
tersenyum.
“Judulnya
apa, Ya?” sela Melisa dan Deyana bersamaan.
“Sad ending apa happy?” sambung Erika nggak kalah.
Saya
hanya tersenyum tenang. Sok bijaksana!
Hehe.. Sambil memasuki ruangan Matematika, saya mengalihkan pembicaraan,
“Eh.. Super Junior mau manggung di
Indonesia lho?”
Serempak
semuanya berteriak histeris.
Sebenarnya
saya merasa bersalah. Mereka sudah mendukung penuh dan saya malah tidak
bertindak. Bukannya saya tidak menghargai dan tidak pula meremehkan motivasi
mereka. Saya masih memikirkan cara menyampaikan hal ini ke mereka.
Afwan akhwat! Semalem ana ketiduran!
ṧṧṧ
Ternyata
peran seorang teman yang baik merupakan elemen penting bagi seseorang dalam
membangun pondasi percaya dirinya. Untuk itu, pilihlah teman yang baik! Atau
kitalah yang menjadi teman baik untuk teman kita.
Nggak
ada salahnya kan, memperbaiki diri?
ṧṧṧ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Di bawah entri laman