Saya
akui, saya tergolong orang yang suka bercerita. Kasarnya sih banyak bicara.
Bermanfaat atau tidak, itu tergantung yang menjalani.
Kalo
saya mengidentifikasikan sendiri, saya lebih condong ke ekspresif. Saya juga bingung.
Orang-orang bilang “Aya itu kalo ngomong
semuanya bergerak! Nggak mulutnya, tangannya sampe ke badan-badannya!”
ihhh... mendramatisir! Nggak segitunya kali! Masa iya saya ngomong sambil
nari-nari? Nggak mungkin ah!
Suatu
hari Ami berpetuah.
“Eh,
Ya! Kayaknya, kalo ente diem ayem aja, ente keliatan lebih manis!”
Jegerrr! Ini namanya penghinaan!
“Masa?”
“Menurut
ana, semakin seseorang diam, semakin terpancar pula pesona yang...”
“Alahhh...
pendapat ente nggak rasionil!” potong saya terpaksa.
Sebenarnya
saya separuh setuju, separuh tidak. Nggak selamanya pesona seseorang itu
terlihat ketika ia memilih diam di tempat kerumunnya obrolan. Mungkin benar
‘diam itu emas’, benar di tempatnya. Namun jika tidak pada tempatnya?
Siang,
selepas mata kuliah Makro Ekonomi.
“Inget
nggak pas tadi Bu Dosen baca absen, si Alif nyeletuk...”
“Oh...
yang itu! Iya bener! Nggak sopan! Kan bisa saja Bu Dosen tersinggung?!” saya
mengikuti alur cerita yang dibawa Erika.
“Mestinya
Alif nggak bersuara keras. Kan kita kena juga kalo tu Ibu marah!”
Nadin
menghentikan langkahnya, “Yang mana sih?”
“Ente
nggak denger, ya? Pas Bu Dosen ngabsen, kelas kan agak sepi dan agak ribut
juga...” saya sedikit bingung dengan kata-kata saya barusan, “... engg... gini,
si Alif nggak bermaksud ngomong apa-apa yang menyindir dosen. Kayaknya dia lagi
ngomong sama sampingnya”
“Ngomong
apa?”
“Dia
keceplosan, ‘ihh... kelamaan! Ini udah
jam berapa?’ nah... mendadak Bu Dosen terhenti dari baca absen, langsung
melirik Alif. Marah-marah gitu deh, kayaknya beliau tersinggung...” saya mulai
cemas.
“Kita
aja yang denger kaget. Kirain Alif serius ngomong gitu ke dosen. Padahal dia
ngomong ke teman di sebelahnya” Erika menambahkan.
“Trus?”
“Bu
Dosen jadi ngambek!” ketus Yuna dengan sedikit nada kecewa. “Tugas numpuk lagi!
Ahhhhh...”
“Pantesan
kita dapet tugas tambahan!” Nadin mulai menyadarinya.
Kami
semua langsung mengambil posisi di halaman samping yang cukup teduh. Ada
trotoar panjang yang biasanya diduduki mahasiswa yang menunggu angkutan umun
lewat. Karena belum mau pulang, kami berhenti dan duduk santai di trotoar itu.
Sambil mengecek keberadaan motor masing-masing.
“Jadi
gimana nih?” saya mulai risih.
“Gimana,
gimana maksud ente?”
“Ya
seenggaknya kita minta maaf sama Bu Dosen. Kalo dia nggak ridho ngajar kita
gimana?” saya melirik Yuna. Sedetik kemudian ia paham. Saya juga memperhatikan
teman-teman yang lain. Ami, Melisa, Deyana, Nadin dan Erika. Mereka membahas
hal yang serupa, ‘Tragedi Kelas Makro, Alif’.
Saya
kembali merenungi hal yang baru saja terjadi. Lebay sih kedengarannnya. Tapi
bagaimana lagi? Dalam hal ini, ridho Allah ada pada ridho dosen. Proses
belajar-mengajar akan berkah jika mahasiswa dan dosen sama-sama ridho. Wah...
kayak transaksi jual-beli ya? Hoho... namun begitulah kenyataannya. Iya kan?
“Alif
nggak salah! Dia kan nggak bermaksud ngeremehin dosen?” sela Nadin.
“Iya,
Na! Tapi Bu Dosen kan nggak tahu kalo sebenarnya Alif nggak ngomong sama dosen”
Erika kembali berkomentar.
Saya
terdiam. Berusaha memikirkan cara untuk membicarakan hal ini sama Bu Dosen.
Mencari waktu yang tepat dan kata-kata yang halus. Yuna membantu saya merancang
itu semua.
Saya
kembali memperhatikan teman-teman lainnya. Nadin berkomentar ria dengan Erika.
Ami mendengarkan usulan Deyana yang sedang diutarakannya. Sedangkan Melisa...
Saya
menatap Melisa tajam. Dan mulai risih pula dengan kelakuan Melisa yang
akhir-akhir ini sering diam. Ia selalu menjauh dari pembicaraan kami. Jarang
sekali mau ikut nimbrung atau sesekali memberi komentar atas pembicaraan kami.
Bukan hanya saat ini saja. sudah sering ia melakukan hal ini dan membuat kami
menaruh rasa curiga padanya. Apa Melisa
bosan berteman dengan kami? Apa ia malu memiliki teman seperti kami?
Hal
itu yang pertama kali muncul di benak saya.
Sengaja
saya tidak menceritakan hal ini pada mereka tanpa sepengetahuan Melisa. Sama
saja saya membicarakan Melisa dari belakang. Meski niat saya baik, tapi saya
ingin Melisa hadir ketika saya berbicara tentang dia. Ya. Saya akan membahas
hal ini tepat di depan Melisa. Tapi tidak sekarang.
“Eh..
ana ke depan kampus dulu, ya! Flashdisk
ana ketinggalan di warnet kemarin” Melisa mengeluarkan kunci motornya. Ia
beranjak meninggalkan kami, mendekati Scoopy pink-nya yang tak jauh dari tempat
kami.
“Mel!
Ente kenapa sih?” tegur Yuna terang-terangan. Pertanyaan Yuna cukup untuk
menghentikan langkah kaki Melisa yang terasa ganjil.
“Ente
berubah, Mel!” sambung Nadin pelan. Namun tegas.
Saya
tersentak. Sepertinya bukan cuma saya yang merasakan kejanggalan Melisa
akhir-akhir ini. Diluar dugaan saya, Yuna dan Nadin memperhatikan pula kelakuan
Melisa.
Melisa
masih berdiri mematung. Sepertinya ia mengerti alur pembicaraan ini.
“Ana
mau ente jujur, Mel!” ungkap saya tak kalah fulgar. Sama sekali tak ada maksud
menghakimi kelakuannya. Setiap orang berhak melakukan apa saja selama tidak
merugikan orang lain.
Melisa
tersenyum. Pahit sekali. Terpaksa! Tepatnya begitu.
Kini
kami mengerti. Arti diamnya Melisa akhir-akhir ini.
“Ente
pikir, kita nggak takut sama dosa?” saya mulai tersinggung.
“Mel!
Kita ngomongin orang, bukan berarti kita ghibah-in
dia! Kita ngerti sama definisi ghibah,
untuk itu kita hindari!” bela Nadin dengan nada yang ditekan halus.
“Sebaik-baik
keislaman seseorang itu, adalah meninggalkan apa yang tak berguna baginya! Kami
sama sekali tak berniat ghibah! Gosip
atau apalah itu!”
Yuna
menatap Melisa lekat, “Kita semua ingin keselamatan kan? Ingin bahagia kan?
Untuk itu kita adakan perubahan” ia tersenyum yakin.
“Semua
yang kita bicarakan baik mengenai orang ataupun tidak, kita niatkan untuk
pembelajaran dan pengajaran. Kita ingin yang terbaik uuntuk kemaslahatan
bersama. Ada hikmah dibalik semua itu. Tergantung niat masing-masing” tambah
saya pelan. Tenang.
“Maaf,
ya! Ana hanya ingin menghindar dari...”
“Kita
ngerti kok, Mel! Siapa sih yang mau terima dosa?” canda Erika hangat.
Nadin
menepuk pundak Melisa, “Seharusnya ente ngomong ke kita, kalo ente nggak suka
dengan sikap kita yang suka membicarakan banyak hal. Istilahnya nggak bisa
diam. Kita kan jadi su-udzon sama
ente. Kita kira ente malu berteman sama kita atau apa gitu... eh, tiba-tiba
ente menjauh. Nggak nimbrung ama kita. Kita kan jadi heran, Mel!”
“Kita
bisa terima dengan argumen ente yang memprioritaskan diam sebagai emas. Tapi
nggak selamanya seperti itu, Mel! Kadang kita harus melihat situasi untuk
meletakkan emas itu. Dibarengi dengan niat yang positif!” senyum saya melebar.
Melisa
menatap kami kaku. Ada rasa bersalah dan wajah mempertahankan argumen. Untuk
masalah prinsip, kami hargai itu!
Kami
saling tersenyum, mempositifkan segala hal agar terasa hangat.
ṧṧṧ
Kesalahpahaman
mudah sekali terjadi. Selama ada pihak yang menutupi perasaannya, pihak yang
lain akan menyalahkannya. Serupa dengan saling memahami. Satu pihak sudah
mencoba untuk memahami, namun pihak yang lain bertolak belakang. Ya, percuma
saja!
Terkumpulnya
sekelompok orang berkemungkinan besar untuk membahas tentang orang lain.
Pembahasan yang lebih familiar disebut ‘gosip’ atau ‘ghibah’. Sudah pasti itu merupakan part of dosa. Sebenarnya tergantung yang menjalani. Atas dasar apa
ia berbicara. Hanya ALLAH yang tahu niat seseorang. Dosa tidaknya, DIA yang
menentukan.
Ketika
sekelompok itu berniat baik dalam pembicaraannya mengenai orang lain. Sangat
salah jika seseorang terdiam seakan tak setuju. Dan diam itu tak kan
menyelesaikan masalah.
Karena diam, tak
selamanya menjadi emas.
ṧṧṧ
Sengaja direkayasa, untuk mengingatkan seorang teman atas diam dan kesalahpahaman.
be yourself aja kak, asal gak ngerugiin orang lain hoho :3
BalasHapusoya, salam kenal kak, aku jg pernah menetap di daratan sulawesi tenggara lho, hehe
sipp2,,
Hapuspernah di sulawesi tenggara jg tah?? wahh,, kpan2 maen ke kendari ya,,^^