Jumat, 09 Maret 2012

Diam, Tak Selalu Menjadi Emas!


            Saya akui, saya tergolong orang yang suka bercerita. Kasarnya sih banyak bicara. Bermanfaat atau tidak, itu tergantung yang menjalani.
            Kalo saya mengidentifikasikan sendiri, saya lebih condong ke ekspresif. Saya juga bingung. Orang-orang bilang “Aya itu kalo ngomong semuanya bergerak! Nggak mulutnya, tangannya sampe ke badan-badannya!” ihhh... mendramatisir! Nggak segitunya kali! Masa iya saya ngomong sambil nari-nari? Nggak mungkin ah!
            Suatu hari Ami berpetuah.
            “Eh, Ya! Kayaknya, kalo ente diem ayem aja, ente keliatan lebih manis!”
            Jegerrr! Ini namanya penghinaan!
            “Masa?”
            “Menurut ana, semakin seseorang diam, semakin terpancar pula pesona yang...”
            “Alahhh... pendapat ente nggak rasionil!” potong saya terpaksa.
            Sebenarnya saya separuh setuju, separuh tidak. Nggak selamanya pesona seseorang itu terlihat ketika ia memilih diam di tempat kerumunnya obrolan. Mungkin benar ‘diam itu emas’, benar di tempatnya. Namun jika tidak pada tempatnya?
            Siang, selepas mata kuliah Makro Ekonomi.
            “Inget nggak pas tadi Bu Dosen baca absen, si Alif nyeletuk...”
            “Oh... yang itu! Iya bener! Nggak sopan! Kan bisa saja Bu Dosen tersinggung?!” saya mengikuti alur cerita yang dibawa Erika.
            “Mestinya Alif nggak bersuara keras. Kan kita kena juga kalo tu Ibu marah!”
Nadin menghentikan langkahnya, “Yang mana sih?”
            “Ente nggak denger, ya? Pas Bu Dosen ngabsen, kelas kan agak sepi dan agak ribut juga...” saya sedikit bingung dengan kata-kata saya barusan, “... engg... gini, si Alif nggak bermaksud ngomong apa-apa yang menyindir dosen. Kayaknya dia lagi ngomong sama sampingnya”
            “Ngomong apa?”
            “Dia keceplosan, ‘ihh... kelamaan! Ini udah jam berapa?’ nah... mendadak Bu Dosen terhenti dari baca absen, langsung melirik Alif. Marah-marah gitu deh, kayaknya beliau tersinggung...” saya mulai cemas.
            “Kita aja yang denger kaget. Kirain Alif serius ngomong gitu ke dosen. Padahal dia ngomong ke teman di sebelahnya” Erika menambahkan.
            “Trus?”
            “Bu Dosen jadi ngambek!” ketus Yuna dengan sedikit nada kecewa. “Tugas numpuk lagi! Ahhhhh...”
            “Pantesan kita dapet tugas tambahan!” Nadin mulai menyadarinya.
            Kami semua langsung mengambil posisi di halaman samping yang cukup teduh. Ada trotoar panjang yang biasanya diduduki mahasiswa yang menunggu angkutan umun lewat. Karena belum mau pulang, kami berhenti dan duduk santai di trotoar itu. Sambil mengecek keberadaan motor masing-masing.
            “Jadi gimana nih?” saya mulai risih.
            “Gimana, gimana maksud ente?”
            “Ya seenggaknya kita minta maaf sama Bu Dosen. Kalo dia nggak ridho ngajar kita gimana?” saya melirik Yuna. Sedetik kemudian ia paham. Saya juga memperhatikan teman-teman yang lain. Ami, Melisa, Deyana, Nadin dan Erika. Mereka membahas hal yang serupa, ‘Tragedi Kelas Makro, Alif’.
            Saya kembali merenungi hal yang baru saja terjadi. Lebay sih kedengarannnya. Tapi bagaimana lagi? Dalam hal ini, ridho Allah ada pada ridho dosen. Proses belajar-mengajar akan berkah jika mahasiswa dan dosen sama-sama ridho. Wah... kayak transaksi jual-beli ya? Hoho... namun begitulah kenyataannya. Iya kan?
            “Alif nggak salah! Dia kan nggak bermaksud ngeremehin dosen?” sela Nadin.
            “Iya, Na! Tapi Bu Dosen kan nggak tahu kalo sebenarnya Alif nggak ngomong sama dosen” Erika kembali berkomentar.
            Saya terdiam. Berusaha memikirkan cara untuk membicarakan hal ini sama Bu Dosen. Mencari waktu yang tepat dan kata-kata yang halus. Yuna membantu saya merancang itu semua.
            Saya kembali memperhatikan teman-teman lainnya. Nadin berkomentar ria dengan Erika. Ami mendengarkan usulan Deyana yang sedang diutarakannya. Sedangkan Melisa...
            Saya menatap Melisa tajam. Dan mulai risih pula dengan kelakuan Melisa yang akhir-akhir ini sering diam. Ia selalu menjauh dari pembicaraan kami. Jarang sekali mau ikut nimbrung atau sesekali memberi komentar atas pembicaraan kami. Bukan hanya saat ini saja. sudah sering ia melakukan hal ini dan membuat kami menaruh rasa curiga padanya. Apa Melisa bosan berteman dengan kami? Apa ia malu memiliki teman seperti kami?
            Hal itu yang pertama kali muncul di benak saya.
            Sengaja saya tidak menceritakan hal ini pada mereka tanpa sepengetahuan Melisa. Sama saja saya membicarakan Melisa dari belakang. Meski niat saya baik, tapi saya ingin Melisa hadir ketika saya berbicara tentang dia. Ya. Saya akan membahas hal ini tepat di depan Melisa. Tapi tidak sekarang.
            “Eh.. ana ke depan kampus dulu, ya! Flashdisk ana ketinggalan di warnet kemarin” Melisa mengeluarkan kunci motornya. Ia beranjak meninggalkan kami, mendekati Scoopy pink-nya yang tak jauh dari tempat kami.
            “Mel! Ente kenapa sih?” tegur Yuna terang-terangan. Pertanyaan Yuna cukup untuk menghentikan langkah kaki Melisa yang terasa ganjil.
            “Ente berubah, Mel!” sambung Nadin pelan. Namun tegas.
            Saya tersentak. Sepertinya bukan cuma saya yang merasakan kejanggalan Melisa akhir-akhir ini. Diluar dugaan saya, Yuna dan Nadin memperhatikan pula kelakuan Melisa.
            Melisa masih berdiri mematung. Sepertinya ia mengerti alur pembicaraan ini.
            “Ana mau ente jujur, Mel!” ungkap saya tak kalah fulgar. Sama sekali tak ada maksud menghakimi kelakuannya. Setiap orang berhak melakukan apa saja selama tidak merugikan orang lain.
            Melisa tersenyum. Pahit sekali. Terpaksa! Tepatnya begitu.
            Kini kami mengerti. Arti diamnya Melisa akhir-akhir ini.
            “Ente pikir, kita nggak takut sama dosa?” saya mulai tersinggung.
            “Mel! Kita ngomongin orang, bukan berarti kita ghibah-in dia! Kita ngerti sama definisi ghibah, untuk itu kita hindari!” bela Nadin dengan nada yang ditekan halus.
            “Sebaik-baik keislaman seseorang itu, adalah meninggalkan apa yang tak berguna baginya! Kami sama sekali tak berniat ghibah! Gosip atau apalah itu!”
            Yuna menatap Melisa lekat, “Kita semua ingin keselamatan kan? Ingin bahagia kan? Untuk itu kita adakan perubahan” ia tersenyum yakin.
            “Semua yang kita bicarakan baik mengenai orang ataupun tidak, kita niatkan untuk pembelajaran dan pengajaran. Kita ingin yang terbaik uuntuk kemaslahatan bersama. Ada hikmah dibalik semua itu. Tergantung niat masing-masing” tambah saya pelan. Tenang.
            “Maaf, ya! Ana hanya ingin menghindar dari...”
            “Kita ngerti kok, Mel! Siapa sih yang mau terima dosa?” canda Erika hangat.
            Nadin menepuk pundak Melisa, “Seharusnya ente ngomong ke kita, kalo ente nggak suka dengan sikap kita yang suka membicarakan banyak hal. Istilahnya nggak bisa diam. Kita kan jadi su-udzon sama ente. Kita kira ente malu berteman sama kita atau apa gitu... eh, tiba-tiba ente menjauh. Nggak nimbrung ama kita. Kita kan jadi heran, Mel!”
            “Kita bisa terima dengan argumen ente yang memprioritaskan diam sebagai emas. Tapi nggak selamanya seperti itu, Mel! Kadang kita harus melihat situasi untuk meletakkan emas itu. Dibarengi dengan niat yang positif!” senyum saya melebar.
            Melisa menatap kami kaku. Ada rasa bersalah dan wajah mempertahankan argumen. Untuk masalah prinsip, kami hargai itu!
            Kami saling tersenyum, mempositifkan segala hal agar terasa hangat.
ṧṧṧ
            Kesalahpahaman mudah sekali terjadi. Selama ada pihak yang menutupi perasaannya, pihak yang lain akan menyalahkannya. Serupa dengan saling memahami. Satu pihak sudah mencoba untuk memahami, namun pihak yang lain bertolak belakang. Ya, percuma saja!
            Terkumpulnya sekelompok orang berkemungkinan besar untuk membahas tentang orang lain. Pembahasan yang lebih familiar disebut ‘gosip’ atau ‘ghibah’. Sudah pasti itu merupakan part of dosa. Sebenarnya tergantung yang menjalani. Atas dasar apa ia berbicara. Hanya ALLAH yang tahu niat seseorang. Dosa tidaknya, DIA yang menentukan.
Ketika sekelompok itu berniat baik dalam pembicaraannya mengenai orang lain. Sangat salah jika seseorang terdiam seakan tak setuju. Dan diam itu tak kan menyelesaikan masalah.
Karena diam, tak selamanya menjadi emas.
ṧṧṧ

 Sengaja direkayasa, untuk mengingatkan seorang teman atas diam dan kesalahpahaman.

2 komentar:

  1. be yourself aja kak, asal gak ngerugiin orang lain hoho :3
    oya, salam kenal kak, aku jg pernah menetap di daratan sulawesi tenggara lho, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. sipp2,,
      pernah di sulawesi tenggara jg tah?? wahh,, kpan2 maen ke kendari ya,,^^

      Hapus

Di bawah entri laman