G Em
Engkau yang sedang patah hati
Am D
Menangislah dan jangan ragu ungkapkan
Bm Em
Betapa pedih hati yang tersakiti
Am D
Racun yang membunuhmu secara perlahan
Engkau yang sedang patah hati
Am D
Menangislah dan jangan ragu ungkapkan
Bm Em
Betapa pedih hati yang tersakiti
Am D
Racun yang membunuhmu secara perlahan
Well!
Baru kali ini saya merasakan yang namanya patah hati. Dari dulu saya selalu
bertanya dalam hati, patah hati itu
gimana ya? Kok orang-orang keliatan menderita banget? Ternyata benar. Rasanya sakit.
Heemm..
mungkin ini salah satu prinsip saya untuk tidak pacaran. Ana nggak mau sakit hati! Tapi perasaan tidak bisa berbohong. Saya
juga bingung, kok bisa sih saya suka sama dia?
So,
ini yang membuat saya kesal. Sebenarnya saya sama sekali tidak merasakan
apa-apa ketika dia datang. Bahkan saya tertawa jika dia ber-acting bak romeo. Jujur saja, saya
paling tidak suka mendengar gombalan!
Menurut saya itu, menjijikkan!
Saya kembali memetik gitar milik
adik saya yang baru ia beli beberapa hari lalu. Yang saya herankan, mengapa saya
menangis? Bodoh sekali! Ngapain juga
mikirin dia?!
Tiba-tiba saja Nadin menelpon, “Afwan, Ya! Baru bales SMS ente. Ente kenapa?”
Entah mengapa lagi perasaan ini
membludak, tangis saya pun pecah, “Ana patah hati nih, Na!” sedikit ada nada
ragu untuk mengutarakannya.
“Ya
Allah, Ya! Siapa yang bikin ente patah sih?”
“Yang kemarin ana ceritain ke ente!”
“Oh.. yang terus nelponin ente pas
ente sakit itu, ya? Ketua band yang namanya An..”
“Ssstt! Jangan sebut nama dia lagi!
Sakit, Na!”
“Hoho.. oke-oke. Besok cerita, ya?!”
ṧṧṧ
“Eh, Ya! Tadi Agung nitip absen.
Katanya dia nggak bis..” Deyana memegang kedua pundak saya, “Ente kenapa, Ya?”
“Diem ajah! Aya lagi sakit tuh!”
Nadin membela.
“Kok ente tau, Na?”
“Dia abis cerita tadi malem, pake
nangis-nangis lagi!” Nadin terkekeh.
Nggak lucu tau, Na! Saya menatap Nadin kosong.
“Eh, Ya! Novel ente kapan terbit?”
“Diem, Yuna! Aya lagi sakit!” Deyana
memperaktekkan gaya khas Nadin.
Yuna bingung, “Sakit? Gara-gara
apa?”
“Patah hati!” jawab saya tanpa
basa-basi.
“Aduuhhhh.. pangeran yang mana sih,
yang udah bikin Princess Aya
menangis?”
Saya memandang mereka satu persatu.
Kalo di sinetron-sinetron, pandangan itu meminta persetujuan. Maka yang
dipandang pun mengangguk meyakinkan. Pas
banget deh kayak sinetron Binar Bening Berlian!
“Maka dari itu ana nggak pernah
berani suka sama orang yang belum dihalalkan Sang Pemilik Cinta. Kalo pun ana
ada perasaan sama cowok, ana langsung inget, mau ditinggalin dia? Dia kan cuma ingin pacaran! Kalo udah bosen ente
bakal dibuang! Kecuali kalo dia pengen serius ke ente! Itu yang ana
pikirin”
“Sama kok, Ya! Ana juga gitu! Kita
semua bahkan!” Yuna tersenyum. Tegas. “Ente tau dia?” Yuna menunjuk cowok yang
sedang duduk di atas Kawasaki silvernya. “Dia dulu nunjukin rasa sukanya ke ana. Tanya
Ami!”
Ami mengangguk manis. Membenarkan.
“Dia sering cari perhatian ke ana.
Bukannya ana ge er loh!” Yuna melirik Erika yang tersenyum seakan bilang Right! “Sikapnya yang nggak wajar itu
yang bikin ana paham kalo dia suka sama ana. Tampang sih not bad! Gayanya juga cukup sopan. Nggak buruk-buruk amet lah. Tapi
ana sengaja memperlihatkan sikap nggak suka ana! Sampe-sampe dia menunjukkan
bahwa ia udah nggak butuh ana. Kita bisa menilai, kan?! Orang yang sengaja
caper dan yang nggak?”
“Kok ente gitu? Kenapa ente bikin
dia kesel?” saya mulai antusias.
“Ana risih! Lagian ana nggak mau dia
sampe ngutarain his feeling. Dia
kelihatan maen-maen dalam cinta! Nggak gentle!
Hehe..”
Saya tersenyum kecut. Merasa lucu. Ternyata Yuna bisa ngomong kayak gini juga!
“Ana sering malah!” sambung Deyana. Teman saya
yang satu ini memang bak primadona di kampus. Jadi wajar kalo banyak yang suka. Bohong yang bilang
kalo Deyana nih buruk rupa!
“Maksud ente, Yan? Sering patah
hati?” Erika mulai nggak konek.
“Bukan. Ana sering bikin anak orang
patah hati! Hehe..”
Ahh..
Deyana! Ada-ada aja! “Ente jahat, Yan!”
“Lho? Dalam urusan ginian kita nggak
bisa maen-maen. Mereka itu ngomongnya nembak!
Maunya pacaran. Ya ana mana mau! Ada sih, yang serius! Tapi dia nyuruh ana
nunggu sampe dia lulus kuliah! Wah.. ana nggak mau memendam cinta selama 4
tahun! Mending kalo 4 tahun berikutnya dia bener-bener nepatin janji. Kalo
nggak? Begitu pula sebaliknya. Siapa yang tau keadaan hari esok selain Sang
Sutradara!”
“Untuk itu ente tolak?” sela Ami.
“Prinsip ana he’s the first and he’s the last! Ana nggak pernah mau pacaran!”
“Ente bener, Yan!” Erika menunduk
dalam. “Sampe sekarang, ana masih risih sama dia. Padahal ana udah bilang kalo
ana nggak bisa pacaran!”
“Temen kita yang kemaren nyapa ente
depan foto kopi, ya?”
Erika mengangguk.
“Dia masih berkeliaran di sekitar
Erika. Untuk menyelesaikan cinta yang belum kelar!” ketus Ami tertawa. Disusul
tawa kami yang menghangatkan suasana.
“Ana malah pernah diajak ketemuan”
Ami memulai ceritanya. “Dia itu temen kakak ana. Ana nggak ngasih jawaban pas
dia nembak. Karena ana ngerti, dia juga hanya ingin pacaran sama ana”
“Trus?”
“Di sisi lain ana terlanjur illfeel sama dia!” Ami mengatur
nafasnya, “Masa dia bersihin telinganya di depan ana!”
Serentak kami tertawa. Ada-ada ajah!
Tiba-tiba saja, Nadin memegang
tangan saya, “Ceritanya gimana sih, Ya? Kok ente sampe patah hati? Dia mutusin
ente, ya?”
Sekejap garis tawa saya pudar.
Semuanya mengarah ke saya. Diawali
tarikan nafas yang panjang, saya memulainya.
Dia itu teman kakak saya. Persis
seperti kisahnya Ami, lewat kakak saya dia mengenali siapa saya. Dia mulai
sering menelpon. Karena cara dia sopan, saya menerima telpon dia dan bercerita
banyak hal. Dia juga rame dan tidak terdengar dibuat-buat. Saya sama sekali tidak
punya perasaan lebih terhadapnya. Saya hanya menganggapnya teman dan biasanya
kami saling mengejek bercanda. Toh
beda umur kami hanya dua tahun.
Suatu ketika dia bertanya “kamu udah punya pacar?” Refleks saya
menjawab “Saya nggak mau pacaran. Keeping
this heart for him. Dia yang seumur
hidup!”
Dia pun tertawa, kembali melanjutkan
ceritanya. Tentang Liga Inggris, karena saya suka menonton bola. Jadi bawaan
pembahasan kami adalah bola. Untuk itu kami nyambung-nyambung saja.
Suatu hari di sela-sela tawa kami,
dia bertanya “Aku love nih, sama kamu!
Kamu mau nggak jadi cewek aku?” saya masih tertawa, bahkan sengaja tidak
menghentikan tawa saya, saya jawab “Ngaco!
Aku kan udah bilang. Aku nggak mau pacaran!”
Well.
Seiring berjalannya waktu, dia masih sering menelpon. Dia tidak pernah menelpon
di malam hari. Mungkin dia paham, itu nggak sopan! Bahasanya pun sopan.
Bawaannya lucu. Sehingga suatu hari saya jatuh sakit. Flu berat. Bete! Mengharap akhwats ada yang nelpon.
Seenggaknya SMS.
Saya terkaget, nama dia written di layar HP saya. Calling. “Napa?” tanya saya ketus.
“Cuma mau ngingetin. Ntar malem
Arsenal vs Chelsea”
Waduh.. udah tahu saya sakit. Mana
bisa saya..
“Kok diem? Cuma ngasih tau doang!
Kali aja kamu boring. Kan better nonton dari pada tiduran. Ntar
pusing loh!” candanya jayus.
Saya tertawa saja. Karena saya
merasa terhibur. Cukup lama dia bercerita. Hampir dua jam. Bahkan sampai tak
ada pembahasan. Dia pun sampai ngomong “Engg..
apa lagi ya?” Dan saya hanya tertawa. Toh
saya nggak bisa bicara banyak. Batuk terus.
Saya mulai terhibur. Pusing yang
tadi memakan saraf-saraf otak pun menghilang. Ada satu kalimat yang membuat
saya terdiam, entah mengapa saya berat mengatakannya.
Saat itu dia ngomong “Ya, sebelum
aku say love sama orang lain, aku say
love sama kamu dulu. Kamu mau nggak?”
Sejenak saya terhenti. “Ya udah! say love ajah sama dia! Kenapa harus
tanya aku?” aku tertawa kecil.
“Baiklah. Udah dulu, ya! Aku mau Sholat
Jumat!”
Setelah kalimat salam, dia menutup
teleponnya. Saya sedikit terpaku. Namun terbesit hawa tenang. Entah apa
artinya.
Karena bosan, saya membuka Facebook Window. Ada banyak status teman
saya like. Namun satu kolom membuat
saya tercekat. Bla bla bla telah
berpacaran dengan bla bla bla.
Saya membisu.
Entah mengapa saya merasa sakit.
Perih. Amat perih. Seakan saya menyesal. Mengapa
harus menyesal? Toh saya memang tidak menyukainya. Ada apa ini?
Saya terduduk. Tombol create new message pun saya tekan. “Na, ana pengen ngomong! Sekarang!”
pesan itu saya kirim ke Nadin.
Dan kini tak ada lagi kabar
tentangnya. Mestinya saya bersyukur. Allah menyelamatkan saya dari jilatan api siksaan-Nya.
Saya sempat merasakan sebuah rasa yang seharusnya tak perlu hadir. Seketika
saya menangis. Mengharap ampunan-Nya.
“Itu pilihan yang tepat, Ya! Nggak
banyak orang yang bisa mengambil keputusan bijak kayak ente. Walau itu terasa
sakit. Entelah orang yang terplih! Trust
me!” Yuna memelukku erat. Disusul akhwats yang ikut menghangatkan hawa di
sekitarku.
“Tenks
akhwat! Nggak nyesel berteman ama antunna!”
Saya kembali melihat warna daun yang
hijau.
ṧṧṧ
Tidak salah bagi turunan Hawa
merasakan getaran hebatnya cinta. Fitrah bagi mereka jika rasa itu mendekat.
Sebagai pemanis hidup yang Allah berikan pada mereka. Namun, dimana letak
ketidak halalnya?
Rasa itu pula lah yang menjadi
peluru untuk menghancurkan tiang cinta mereka pada-Nya. Bullshit yang bilang “aku cinta
kamu karena Allah” sedangkan keduanya belum terjalin suci di hadapan-Nya!
Maka manusia diwajibkan untuk selalu
menjaga pandangannya. Ada baiknya pula jika manusia menjaga hatinya hanya untuk
dia yang halal nanti. Manusia masih butuh belajar banyak hal. Termasuk tentang
penempatan rasa cinta.
Karena cinta... harus diupayakan..
ṧṧṧ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Di bawah entri laman