“Kapan nih mau makan? Laper...”
keluh Erika sok manja.
Erika
itu salah satu my akhwats. Dia
pintar. Paling pintar di antara kami. Kami menyebutnya jenius. Mungkin kalo Erika
membaca tulisan saya ini, dia akan kaget. Terlalu
digede-gedein! Tapi ya memang begitu faktanya. Erika itu jenius!
“Bentar!
Ami belom dateng” Melisa membela Ami. Pagi itu kami menunggu Ami di koridor
kampus. Tidak ada perkuliahan yang aktif. Kami janjian agar bersama-sama
membayar SPP untuk semester kedua. Kampus terlihat agak sepi.
Ami.
Cewek yang item manis. Dia sendiri pernah ngaku kalo dia itu manis (hehe... piss Am! Ente pasti keki!). Ami kami
kenal pemaaf. Begitulah Ami, berhati malaikat! Namun agak pendiam. Tapi waktu
kami masih staying di pondok, Ami termasuk dalam jejeran anak gokil. Entah
mengapa sekarang berubah. Sepertinya ia mulai sadar. Diam itu emas! Hoho..
Berarti
saya sudah menyebutkan lima teman saya. Melisa yang baik, Yuna yang tegas, Deyana
yang lembut, Erika yang jenius dan Ami yang pemaaf. Masih ada satu lagi.
Namanya Nadin. Dialah yang paling mengerti sifat kami. Jika sifat negatif kami
terbit, Nadin yang membenamkannya. Nadin itu supel. Membuat dia semakin kami
sayang.
Well! Semua akhwats sudah saya bahas.
“Ami!
Ente dimana?” dengan cekatan, Deyana menelpon Ami. “Ente tau nggak sih! Ente tuh
yang paling terindah sekarang!” Deyana mulai kesal. Nyinggung.
“Apa
kata Ami?” Nadin melirik Deyana yang baru saja menekan tombol End Call di layar HP-nya.
“Masih
di Bundaran Baruga. Biasa! Angkotnya
ngetem! Alah.. alesan!” Deyana mengutuk. Nadin nyengir saja mendengar alasan
Ami. Memang. Alasan angkot ngetem itu paling ampuh kalo udah ditunggu banyak
orang dan kita belum sampai di lokasi.
“Makannya
gimana nih, akhwat?”
“Iya,
Ka! Kita nunggu Ami. Kasian juga kalo ditinggalin” Yuna membela juga.
“Okeh
lah!”
“Ahh!
Ami kelamaan! Mestinya dia liat waktu! Udah sejam dia telat! Ana kesel banget
sama orang yang nggak tepat waktu! Itu namanya ia nggak menghargai waktu yang
berjalan!” saya mengangkat suara.
Pasangan
mata mereka menatap saya. Serentak melirik jam tangan masing-masing.
“Ente
tega ya? Temen sendiri dihakimi! Seakan ente nggak pernah telat aja!” nada itu
menajam. Yuna mengarahkan mata elangnya ke arah saya. Mengesalkan! Maksud dia apa?!
“Ana
nggak suka nunggu! Seterlambat-terlambatnya ana di jalan, ana bakal turun dan
naek ojek! Demi teman-teman yang udah lama nunggu!” bela saya nggak kalah
tajam.
“Emang
ente tau kalo Ami santai? Dia juga was-was kali! Nggak enak sama kita! Mestinya
ente yang ngertiin dia! Rumah dia lebih jauh dari rumah ente!”
“Whatever lah! Terus ajah belain yang
salah!” saya mengakhiri.
Entah
mengapa pagi itu terasa panas. Tak ada yang menengahi kami. Yuna itu berwatak
keras. Saya juga mengaku, terkadang ego saya menguasai sisi jiwa saya yang
'lembut'. Di lain rasa, saya berusaha mengatur temperatur itu.
Hal
itu yang saya benci dari Yuna. Ia selalu membantah argumen saya. Saya juga
salah, sih. Egoisme saya inilah yang menggetarkan nurani Yuna untuk menegur
kebiasaan buruk saya. Namun tetap saja saya kesal!
“Ente
egois, Ya!” kalimat itu membentur dinding hati saya. Perih.
Saya
berdiri. Melirik Yuna kasar. Andai saja samudera dapat saya kuras, ingin skali
saya menumpahkan isinya pada Yuna. Saya memadamkan kobaran api yang melilit
batin.
Saya
meninggalkan forum penantian Ami.
ṧṧṧ
Siangnya
kami mampir ke warung makan di depan kampus. Fasilitas hotspot yang disediakan
oleh pemilik warung membuat saya dapat menghindari percakapan akhwats yang
bersutradara Yuna. Ya, Yuna sedang berkisah entah apa. Saya kan malas mendengarnya!
“Eh,
Ka! Ente yang bayar ke Mbaknya ya! Ana males berdesak-desak just for paying!” saya menaruh uang
sepuluh ribu di hadapan Erika.
“Oke, kumpulin
uang bayarnya sama ana ajah” Erika mengumbar senyum. Ia mulai mengeluarkan
dompetnya. Nadin dan Deyana juga melakukan hal yang sama. Beberapa masih
menikmati makanan yang tersisa.
“Nggak
usah! Nanti ana yang bayar semuanya!” cetus Yuna.
“Hoho..
bener nih?”
“Iya.
Kita ada berapa sih?” Yuna mulai menghitung.
“Tujuh!”
Nadin membantu.
“Ohh..
kirain enam!” senyum sinis Yuna menghantam pandangan saya.
Hei... ente nggak nganggap ana ya, Yun?
“Ana
bayar sendiri!” saya segera beranjak dari meja panas itu. Atmosfer bumi udah meledak! Panas! Langkah saya tegap tanpa melirik
ke belakang.
Sepertinya
Erika terkejut, “Yun! Ente apa-apaan sih?”
“Biarin!
Masa biar bayar ajah dia nyuruh orang. Cewek pemakan ego!”
Lagi-lagi
semuanya terdiam. Membiarkan Yuna menghabiskan rasa kesalnya. Jika dilerai,
Yuna akan membantah. Yuna kembali tersenyum sinis penuh arti. Dan Nadin yang
membalas senyum kemenangan itu. Menatap kedua temannya yang sama-sama
berteguhan keras. Walau sebenarnya saya dan Yuna berteman sangat dekat.
Terkadang dalam lingkup pertemanan memang seperti itu.
“Kita
balik yuk!” ajak Nadin mencairkan suasana yang sempat membeku.
ṧṧṧ
“Slip
Pembayaran SPP dikumpul sama Ketua Tingkat ya?”
“Iya.
Foto kopiannya. Kesel banget! Mana Ketua Tingkat kita ogah-ogahan dateng!”
gerutu Melisa yang menjawab pertanyaan Nadin.
“Aya
mana?” tanya Yuna tiba-tiba. Ia melirik Deyana.
“Udah
balik. Tadi dia cuma nitip kopian Slip SPP-nya ke Nadin”
“Cewek
egois! Mana Slipnya?”
Deyana
membuka map kuning Nadin. Selembar kertas bercorak hitam itu segera berpindah
tangan. “Mau diapain, Yun?”
“Ditelan!
Ya disimpen lah, Yan!”
Deyana
menelan ludahnya keki. Kayaknya Yuna
sentimen lagi ke Aya!
“Woi!
Anak semester satu dipanggil Ketua Jurusan! Semuanya ke Auditorium Fakultas!”
teriak seseorang. Entah siapa.
Pemberitahuan
yang panjang. Ketua Jurusan membacakan ketentuan di semester dua.
Ujung-ujungnya, beliau menagih tugas Take
Home yang pernah diumumkan beliau untuk pengambilan Jadwal Kuliah bagi
seluruh mahasiswa semester pertama. Untung saja mahasiswa yang hadir membawa
tugas itu.
“Aya
gimana nih?”
“Suruh
dateng ajah!”
“Nggak
usah!” senyum Yuna memaku akhwats. Nadin dan Deyana saling menatap bingung.
Melisa menyeritkan dahi. Hal yang serupa dilakukan oleh Ami dan Erika.
“Maksud
ente, Yun?”
Yuna
hanya mengangkat alis kanannya. Tanda terompet kemenangan akan berkumandang.
ṧṧṧ
Sore
itu saya mendapat SMS dari teman kelas saya. Sudah kumpul tugas Take Home dari Ketua Jurusan, Ya? Saya segera
menelponnya.
“Kamu
belum ngumpulin ya?”
“Iya
nih! Emang kapan terakhir?”
“Loh?
Kamu nggak ke kampus hari ini? Bukannya sebelum final Ketua Jurusan bilang
bahwa tugasnya dikumpul tanggal 3 Februari? Hari ini 3 Februari kan?” suara di
seberang sana terdengar kaget.
“Saya...”
“Telepon
Staf Jurusan aja deh!” sarannya mengakhiri.
Tombol
nomor saya tekan. Di sela-sela nada tunggu, saya menatap langit. Berharap Allah
menganugrahkan keajaibannya. Beberapa detik kemudian saya terhubung dengan seorang
staf. Saya mulai bertanya sopan meminta toleransi. Gara-gara males nunggu nih!
“Siapa
tadi? Shabriyah Akib, ya? Kelas B? Hhmm... oh iya! Sudah ada. Judul makalah
anda Kebijakan Fiskal Pem...”
Entah
mengapa tangan saya melemah.
Saya
segera menghubungi Nadin.
“Tugas
Take Home ya, Ya?” suara pelan Nadin terdengar tertawa. Saya terduduk di atas
kasur, “Ana serius nih!”
Nadin
melepaskan tawanya. Membuat saya semakin bingung, “Yuna yang ngerjain. Dia
bela-bela ke warnet nge-download
artikel buat tugas ente!”
Saya
pun membisu.
Kini
saya mengerti. Senyum tajamnya, kalimat sinisnya dan sindiran pahitnya. Yuna
hanya ingin menghentikan ego saya yang selalu meninggi. Belum lagi saya selalu
membantah peringatan Yuna yang sebenarnya baik untuk mengembalikan sisi sifat
lembut saya. Untuk itu Yuna sengaja melakukan ini. Memang saya yang terlalu negative thingking ke Yuna. Tenks, Yun! Ente ngingetin ana dengan cara
ini! Ana emang egois, maaf ya?
ṧṧṧ
Teman yang baik
akan menegur kebiasaan temannya jika kebiasaan itu buruk. Walau itu akan terasa
sakit. Nada biacara yang keras akan membuat lawan bicara mengeras pula. Tak
akan merendah sampai keduanya lelah. Apalagi jika keduanya berwatak keras.
Untuk itu perlunya sikap tulus yang akan menurunkan suhu perwatakan tersebut.
Meski harus dimulai dengan berat. Kita harus bisa saling memahami.
Karena
saling mengingatkan itu... indah.
ṧṧṧ
benar sekali mbak akib .
BalasHapusaku juga sering banget di ingetin sm temen aku . jangan ini . jangan itu .
gak boleh ini gak boleh itu .
tapi aku tau mereka care sm kita . :)
hohoho,, sipp2,,
Hapusbete,, jangan panggil akib dong Git,, hehehe,, Aya aja,, hoho..^^
kak Yuna itu mirip kek temen gue kak. sindirannya sepedes sambel pecel lele mang didi. tapi kalo di telaah lagi, memamg betul yang di ucapkan teman kita,
BalasHapuskadang ada keselnya juga sih kak sama temen yang kayak gitu, tapi bener kata kakak kalo kita memahaminya sebenernya itu temen kita peduli sama kita :) indahnya memahami :D
BalasHapusoh ya kak, blognya udah aku follow kak, kalo bagi followbacknya boleh kan? :)
temen kamu baik juga ternyata :)
BalasHapusjangan selalu negatif thinking :)
yg penting kamu harus bisa saling memahami karakter masing2 temenmu, tapi ya emg kadang kesel kalo disindir2.. tapi sabar aja, toh temenmu malahan yg bantu kamu :)
Tuh ente udah di bantu. Jangan egois lagi yaa
BalasHapuswaw ukhti aya bener banget lah, hehehe eh emang kebiasaan ukhti / aktivis dakwah gitu ya. soalnya temen ku yang ikhwan juga gitu. aku sering kan melawak gak jelas, e dimarahin ama dia
BalasHapusapalagi kalo saling berbagi mbak, pasti jadi lebih indah #ngomogapague ??
BalasHapussama sama ngerti aja sih sebenernya . sama sama terima konsekuensi , karna temenan itu gak pernah gak ada miscommunication.
BalasHapusAmbil sisi positif nya aja :)
Ceritanya dibikin kayak cerpen ya..
BalasHapusBagus..
Yuna persis kayak temenku..
Dia baik dengan cara yang berbeda :D
nah tuh, saling mengingatkan aja,., memang terkadang susah untuk menerima pendapat orang lain sih
BalasHapusWahhh, gue selalu semangat lhoh kalau baca cerita kamu ini, cerita nya menarik menarik !!
BalasHapussesungguhnya orang yang manis itu ga pernah nyebut dirinya manis. coba liat gue keren kan? *nahlo
BalasHapusselain tempat curhat dan berkuluh kesah, fungsi temen juga seperti itu, saling membatu :D
kalo di kumpulan gua, malah gua yg suka komentar pedes bin tajam :D
BalasHapus